Quo Vadis Lembaga Negara Bentukan UU Cipta Kerja
Kolom

Quo Vadis Lembaga Negara Bentukan UU Cipta Kerja

Sangat ironi jika UUCK harus berada dalam situasi seperti saat ini, mengingat pemerintah Indonesia sebelumnya dalam event internasional seringkali menyatakan UUCK sebagai ‘game changer’ dalam investasi dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Bacaan 4 Menit
Quo Vadis Lembaga Negara Bentukan UU Cipta Kerja
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menerbitkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang disebabkan adanya cacat formal dalam pembentukannya. Putusan MK tentang uji materiil UUCK ini memang sedikit membingungkan mengingat dalam teori perundang-undangan sebagaimana dijelaskan Maria Farida (2004), yang dimaksud inkonstitusional bersyarat adalah suatu ketentuan dinyatakan tidak berlaku hingga kondisi yang diharapkan sudah tercapai.

Lawan dari inkonstitusional bersyarat adalah konstitusional bersyarat, yakni suatu ketentuan dinyatakan tetap berlaku selama jangka waktu tertentu hingga tercapainya suatu kondisi baru. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat dikatakan ‘janggal’ terutama pada diktum ketiga dan keempat amar Putusan:

  1. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  1. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

Diktum ketiga dan keempat tersebut sebenarnya saling bertentangan sehingga putusan ini tidak jelas benar apakah inkonstitusional bersyarat sebagaimana diuraikan pada amar ketiga atau konstitusional bersyarat sebagaimana diuraikan dalam amar keempat putusan. Terlepas dari multi tafsirnya putusan tersebut namun pada faktanya MK memerintahkan bahwa UUCK masih tetap berlaku hingga setidaknya dua tahun yang akan datang.

Persoalan Kelembagaan

Persoalan lainnya muncul dalam amar putusan (ketujuh) yang berbunyi: 7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

Kondisi ini menimbulkan ambiguitas khususnya mengenai kedudukan dan eksistensi lembaga negara bentukan UUCK seperti lembaga pengelola investasi (LPI), Bank Tanah dan lembaga lainnya. Persoalan terkait lembaga negara bentukan UUCK ini ada dua persoalan utama yakni pertama, apakah lembaga negara bentukan omnibus law masih dapat menjalankan fungsinya dan kedua adalah bagaimana eksistensi lembaga negara tersebut beserta keputusan strategis yang telah dibuat jika UUCK dinyatakan dicabut.

Frasa kata “menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas” pada amar ketujuh secara tidak langsung memerintahkan kepada lembaga negara yang dibentuk dari aturan turunan UUCK untuk tidak mengambil tindakan strategis dan berdampak luas. Tindakan strategis dan berdampak luas itupun memiliki ukuran yang multitafsir, artinya pasca putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak ada keputusan yang dapat diambil oleh lembaga negara yang dibentuk dari aturan turunan UUCK tersebut.

Artinya idealnya pemerintah melalui institusi yang berwenang harus segera membekukan atau setidaknya membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) mengenai tindakan yang masih dapat dilakukan oleh lembaga tersebut dengan mengacu pada amar ketujuh. Hal yang paling ideal adalah membekukan sementara waktu, mengingat akan sangat rawan gugatan dan persoalan hukum terhadap lembaga negara bentukan UUCK tersebut jika mengambil keputusan sebelum UUCK dinyatakan konstitusional.

Selanjutnya persoalan kedua adalah terkait keputusan (yang telah dibuat), mengingat pada putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 amar kelima dan keenam menyebutkan:

  1. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan 417 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
  1. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;

Kondisi ini menjadi sangat berbahaya dan tidak memberikan kepastian hukum sebab lembaga yang telah terbentuk dan tindakannya menjadi sangat bergantung pada arah politik hukum pembentuk undang-undang dalam dua tahun yang akan datang. Sugeng Istanto (2000), menjelaskan bahwa seharusnya proses politik hukum diakhiri dengan terbentuknya ius constituendum (hukum yang dicita-citakan).

Jika membaca Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 maka MK juga memerintahkan untuk memperbaiki dan mensinkronkan UU 12/2011 sebagaimana diubah UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang tidak mengenal hirarki dan metode omnibus law sebagaimana dipergunakan dalam pembentukan UUCK, ini adalah kejanggalan berikutnya sebab bagaimana mungkin hasil uji materiil terhadap UUCK namun terkandung perintah perbaikan UU 12/2011 sebagaimana diubah UU 15/2019 untuk memasukkan perundangan model omnibus law.

Artinya, keberlangsungan lembaga negara bentukan UUCK dapat dikatakan sangat bergantung pada dua hal. Pertama, pada revisi UU PPP dan kedua, pada perbaikan UUCK itu sendiri. Jika UUCK dinyatakan inkonstitusional permanen maka seluruh tindakan dan pembentukan lembaga negara bentukan UUCK tersebut juga harus dibatalkan dan jika hal ini terjadi akan terdapat banyak persoalan dan ketidakpastian hukum.

Sangat ironi jika UUCK harus berada dalam situasi seperti saat ini, mengingat pemerintah Indonesia sebelumnya dalam event internasional seringkali menyatakan UUCK sebagai ‘game changer’ dalam investasi dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Seperti misalnya pembentukan lembaga pengelola investasi (LPI) hingga bank tanah yang diklaim dapat mempermudah investasi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat kini pasca Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 eksistensinya terancam bahkan jika UUCK dibatalkan maka segala tindakan dan keputusan lembaga tersebut juga turut terdampak.

Pemerintah harus bekerja keras untuk mengkonversi status inkonstitusional bersyarat menjadi konstitusional demi mewujudkan kepastian hukum dan menghindari kekacauan hukum. Jika UUCK pada akhirnya dibatalkan selain akan menciptakan ketidakpastian hukum juga akan mempengaruhi kepercayaan dunia internasional pada Indonesia.

*)Dr. Rio Christiawan S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor di bidang Legal Drafting dan Faculty Member Pada Program Studi Internasional Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait