Problematika Perizinan Praktik Dokter Hewan dalam UU Cipta Kerja
Kolom

Problematika Perizinan Praktik Dokter Hewan dalam UU Cipta Kerja

Salah satu masalah besarnya adalah menggunakan paradigma dan orientasi profit pada pelayanan kesehatan hewan.

Bacaan 4 Menit

Keduanya menentukan bahwa kegiatan usaha pada subsektor pertanian dan kesehatan hewan dikategorikan sebagai usaha kecil. Jadi, paling tidak setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan harus memiliki modal usaha lebih dari Rp1 miliar untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya. Nyatanya, tidaksetiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan mempunyai modal usaha sedemikian banyaknya.

Hal ini sudah menunjukkan bahwa Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja sama sekali tidak mencerminkan kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha. Negara justru mempersulit warganya dengan kewajiban memiliki modal usaha yang besar untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya.

Perizinan Berusaha yang dimaksud Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja adalah perizinan berusaha berbasis risiko. Perizinan berusaha berbasis risiko ini membawa konsekuensi perizinan berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan.

Peternakan dan kesehatan hewan masuk dalam tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha yang meliputi UMKM hingga usaha besar. Profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan justru pada akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perizinan Berusaha justru mewajibkan persyaratan yang bertolak belakang dengan ide kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha serta landasan filosofis Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU Cipta Kerja secara limitatif turut menyatakan perizinan berusaha’ diterbitkan oleh pemerintah pusat. Namun, pada praktiknya SIP hanya berlaku dalam lingkup satu daerah atau domisili saja. Hal ini juga sangat tidak relevan dengan praktik dokter hewan yang memiliki kekhususan dan karakteristik berbeda dengan profesi dokter dan profesi dokter gigi. Pelayanan kesehatan hewan seringkali harus dilakukan pada kandang atau habitat hewan itu sendiri, yang sering pula lintas batas.

Keberlakuan Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja tidak hanya membawa dampak bagi profesi dokter hewan saja. Pengguna jasa dokter hewan juga merasakan secara langsung dampaknya. Mereka harus pula menanggung biaya-biaya yang tinggi akibat meningkatnya biaya jasa dokter hewan yang harus mengeluarkan modal usaha besar demi memenuhi perizinan berusaha. Apabila dibiarkan, akan banyak hewan yang tidak memperoleh penanganan hingga berpotensi menyebarluaskan penyakit hewan kepada manusia.

Oleh karena itu, sangat diperlukan pembatasan dan penafsiran yang jelas atas frasa Perizinan Berusaha dalam Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja. Seharusnya dapat dibatasi dan ditafsirkan dengan mengedepankan aspek kompetensi dan keahlian, menghilangkan kewajiban setiap orang dan tenaga kesehatan hewan memasukkan modal usaha, tidak menggunakan paradigma dan orientasi profit pada pelayanan kesehatan hewan, serta cukup menjaga peran pengawasan pemerintah alih-alih membebankan syarat modal usaha.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menyatakan dengan jelas bahwa UU Cipta Kerja adalah undang-undang prematur. Jadi, penerbitan Izin Berusaha Dokter Hewan yang berlaku dengan dasar peraturan pelaksana UU Cipta Kerja seharusnya demi hukum dianggap tidak berlaku.

*)Yusuf Fachrurrozi, Partner pada Kantor Hukum THEY Partnership.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait