Problematika Hukum dalam Holding BUMN Asuransi
Kolom

Problematika Hukum dalam Holding BUMN Asuransi

Indonesia belum mengatur secara jelas dan spesifik mengenai makna holding company hingga saat ini.

Bacaan 4 Menit

Kekosongan hukum—sebagai keadaan atau peristiwa karena ada hal yang belum diatur undang-undang—membuat undang-undang tidak dapat dijalankan dalam situasi dan keadaan tertentu. Akibat yang ditimbulkan oleh kekosongan hukum adalah ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat.

UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) juga tidak menyebutkan secara rinci tentang pengertian dan pengaturan pembentukan holding company. Akibat dari ketiadaan pengaturan spesifik itu berdampak pada pemenuhan hak dan kewajiban antara anak perusahaan dengan perusahaan induk.

Jika dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam praktik sehari-hari, pemenuhan hak dan kewajiban di antara anak dan induk perusahaan hanya melihat dari segi manajemen dan finansial. Tidak diketahui secara jelas apa saja yang merupakan hak dan kewajiban perusahaan induk terhadap anak perusahaan.

Selama ini pembentukan holding terhadap perusahaan BUMN didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2016 (PP 72/2016). Mekanisme pembentukan holding dengan mengalihkan saham milik Negara dalam BUMN B untuk dijadikan tambahan penyertaan modal negara pada BUMN A. Kemudian—sebagai sumber penyertaan modal negara pada BUMN A—, negara akan mengalihkan seluruh penyertaan modal negara pada BUMN B yang tetap memiliki saham negara seperti berupa saham seri A dwiwarna.

Terdapat indirect control (kontrol tidak langsung) oleh negara terhadap anak perusahaan dari holding BUMN. Terlihat bahwa pada dasarnya perusahaan induk memegang kendali atas anak perusahaan. Perusahaan induk memberikan modal bagi anak perusahaan dan sangat berperan dalam mendirikan anak perusahaan. Akan tetapi, dalam menjalankan fungsi dan peranaan, anak perusahaan menjalankan bisnis dari perusahaan induk. Jika suatu saat terjadi sesuatu terhadap anak perusahaan, perusahaan induk hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya di sana. Hal ini karena keduanya adalah entitas yang terpisah.

Kembali pada soal pembentukan holding BUMN Asuransi di Indonesia. Langkah ini sebenarnya didasari kepada empat hal yaitu adanya pareto condition—terjadi ketidakseimbangan terkait produktivitas atau skala menghasilkan pada BUMN—, sebagai upaya restrukturisasi BUMN Asuransi, adanya kasus Jiwasraya—yang disebabkan oleh pengelolaan secara tidak hati-hati, dan sebagai upaya penanganan Jiwasraya melalui salah satu upaya restrukturisasi.

Metode holding dipilih karena besarnya jumlah liabilitas Jiwasraya sehingga metode restrukturisasi lain tidak dapat dilakukan. Bisa saja dilakukan likuidasi, tetapi pemerintah memilih ambil bagian soal kasus gagal bayar Jiwasraya dengan metode holding. Ini adalah upaya menyelamatkan polis nasabah yang dilakukan melalui restrukturisasi polis nasabah. Polis para nasabah yang merasa dirugikan ditata ulang, lalu melakukan bail-in sebesar Rp20 triliun kepada holding (Indonesia Financial Group/IFG) yang selanjutnya diberikan kepada anak perusahaannya (IFG Life, perusahaan asuransi jiwa dan kesehatan). Semua transfer polis nasabah Jiwasraya itu tentunya dengan persetujuan skema pembayaran yang ada.

*)Abraham Astral Rantesalu, Associate di PRISMA & CO Law Firm.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait