Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004
Kolom

Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004

PKPU seringkali bergeser dari tujuan awalnya yaitu melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor,

Bacaan 2 Menit

Frasa “harus mengabulkan” dijadikan senjata untuk membuat Debitor dinyatakan dalam status PKPU, dan selanjutnya dipaksa untuk mengajukan rencana perdamaian (composition plan). Bahkan sering ditemukan keadaan bahwa oknum Kreditor melakukan kongkalikong dengan Pengurus untuk membuat Debitor dalam keadaan PKPU, karena keinginan memperoleh imbalan jasa pengurus yang wajib dibebankan pada Debitor pada akhir proses PKPU. Tidak jarang juga Debitor selanjutnya menjadi pailit sesudah dinyatakan PKPU, karena keadaan tidak mampu membuat kesepakatan mengenai isi Rencana Perdamaian dengan Para Kreditornya dalam proses PKPU sesuai jangka waktu yang ditentukan (Pasal 228 ayat (5) UU KPKPU). PKPU juga dapat dijadikan “alat” bagi oknum Pengurus yang ingin mengambil keuntungan pribadi untuk melihat aset-aset Debitor, yang selanjutnya apabila Debitor tersebut menjadi pailit, maka Pengurus yang selanjutnya berubah menjadi Kurator akan melikuidasi aset-aset tersebut.

Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Ketentuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus diperoleh berdasarkan persentase dari keseluruhan aset Debitor Pailit. Pengajuan permohonan PKPU saat ini menjadi trend, di dalam melakukan penagihan utang terhadap Kreditor, dikarenakan prosesnya lebih mudah dikabulkan. Pemohon seringkali menggunakan argumentasi ketentuan Pasal 225 UU KPKPU untuk meminta Pengadilan Niaga mengabulkan permohonannya. Terbukti dari hasil pengamatan penulis di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dari 52 permohonan PKPU yang diajukan selama tahun 2012, hanya delapan permohonan PKPU yang ditolak.

Melihat kondisi di atas, dimana tujuan PKPU seringkali bergeser dari tujuan awalnya yaitu melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor, maka sudah sepantasnya pembuat undang-undang meninjau kembali penggunaan frasa ”harus mengabulkan” dalam ketentuan Pasal 225 UU KPKPU. Penafsiran penggunaan “frasa harus mengabulkan” dalam ketentuan tersebut harus dibaca pada pengertian Permohonan PKPU harus dikabulkan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, bukan semata-mata harus dikabulkan tanpa meninjau kembali mengenai keabsahan hubungan hutang-piutang antara Debitor dan Kreditor.

Selanjutnya jangka waktu pemeriksaan proses permohonan PKPU yang singkat tersebut (Permohonan Kreditor 20 hari, dan Permohonan Debitor 3 hari) juga perlu ditinjau kembali, dikarenakan penting untuk melakukan pengkajian keabsahan hutang-piutang antara Debitor dan Kreditor. Akan sangat berbahaya sekali jika penagihan terhadap Debitor didasarkan pada suatu alas hak yang tidak sah yang memerlukan pengkajian yang cukup panjang, ternyata harus dikabulkan dalam jangka waktu yang relatif pendek.

* Advokat dan Kurator pada Kantor S & H Attorneys at Law

Tags: