Pinjol Ilegal: Aturan Main, Potensi Pelanggaran dan Akibat Hukumnya
Kolom

Pinjol Ilegal: Aturan Main, Potensi Pelanggaran dan Akibat Hukumnya

Bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang menjadi korban atau debitur pinjol ilegal, baik proses perdata maupun pidana bukanlah hal yang sederhana.

Bacaan 6 Menit
Yosea Iskandar. Sumber: Istimewa
Yosea Iskandar. Sumber: Istimewa

Penyelenggaraan pinjaman online tanpa izin alias pinjol ilegal telah menjelma menjadi momok menakutkan yang memakan banyak korban. Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk memberantasnya. Seperti penggerebekan pihak kepolisian, penutupan ribuan pinjol ilegal dan penerapan moratorium penerbitan izin pinjol. Bahkan kini masyarakat yang terlanjur meminjam uang ke pinjol ilegal diimbau untuk tidak membayar utangnya.

Imbauan tersebut tentunya telah dipertimbangkan dengan matang dan bertujuan positif, seperti meringankan beban para korban sekaligus memberikan efek jera pada pelaku pinjol ilegal. Namun demikian setidaknya ada dua skenario yang dapat membuat imbauan yang bertujuan baik ini tidak mencapai hasil yang diinginkan.

Skenario pertama dalam hal debitur atau calon debitur beriktikad tidak baik, dengan sengaja mengambil pinjaman sebanyak-banyaknya dari berbagai pinjol dengan tujuan dapat menghindar dari kewajiban pembayaran. Skenario kedua dalam hal debitur memiliki iktikad baik, namun tidak memiliki informasi yang jelas apakah pinjamannya termasuk dalam kategori legal atau ilegal. Apabila salah satu skenario tersebut menimpa pinjol legal tentu akan mempengaruhi tingkat keberhasilan bayarnya, yang pada akhirnya harus ditanggung oleh pemberi pinjaman pada platform yang diselenggarakannya.

Dalam pelaksanaannya, selain memiliki iktikad yang baik masyarakat juga perlu mampu membedakan antara pinjol ilegal dengan pinjol yang sah. Debitur perlu mengetahui hak dan kewajibannya agar tidak keliru mengambil tindakan yang dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Misalnya menghentikan pembayaran kepada pinjol yang sah.

Keterlambatan pembayaran dapat menambah beban bunga bagi debitur, sekaligus menyita energi debitur dan kreditur untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Untuk menghindari hal ini, masyarakat dan pihak yang berkepentingan lainnya perlu mencermati kembali ketentuan yang ada agar lebih memahami pengertian, kegiatan usaha, perjanjian dan kewajiban serta larangan dalam menyelenggarakan pinjol. Saat ini Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK) adalah rujukan utama bagi penyelenggaraan kegiatan pinjol.

Hakikat dan Legalitas Pinjol

Mengenai kegiatan usaha pinjol, POJK menyatakan bahwa penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dari pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak pemberi pinjaman. Dengan demikian maka pada hakikatnya pinjol adalah perantara yang mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman, atau umum dikenal sebagai konsep peer-to-peer lending.

Sementara mengenai perjanjian pelaksanaan pinjol POJK menyatakan bahwa perjanjian meliputi perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dan perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Tidak adanya perjanjian pinjam meminjam dengan pinjol dalam aturan tersebut menegaskan kembali bahwa pinjol bukanlah kreditur. Tidak seperti bank atau perusahaan pembiayaan, pinjol tidak diperbolehkan memberi pinjaman.

Apabila kemudian dalam praktiknya terdapat aplikasi pinjol yang memiliki perjanjian pinjam meminjam dengan debitur, maka dapat dipastikan pinjol tersebut tidak akan memperoleh izin dari OJK, alias ilegal. Agar dapat menjalankan kegiatan usaha pinjol, POJK mewajibkan penyelenggara mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Ketiadaan pendaftaran atau perizinan inilah yang menyebabkan suatu penyelenggaraan pinjol disebut sebagai pinjol ilegal. Jadi bukan soal karena adanya pengancaman saat penagihan atau pengenaan bunga tinggi.

Perlu diingat juga bahwa bukan hanya pinjol ilegal yang mengenakan bunga dan melakukan penagihan. Pinjol yang terdaftar dan berizin juga melakukannya, bahkan perusahaan pembiayaan dan perbankan. Namun tentunya harus dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila ada penyimpangan, baik dalam tata cara penagihan maupun penghitungan bunga, hal tersebut tidak akan mempengaruhi legalitas usaha perusahaan. Sanksi akan diberikan sesuai pelanggaran yang dilakukannya.

Kewajiban dan Larangan

Selanjutnya, POJK juga mewajibkan penyelenggara menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, transaksi dan keuangan yang dikelolanya. Serta menerapkan prinsip dasar perlindungan pengguna yaitu: transparansi, perlakuan adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data dan penyelesaian sengketa sederhana.

Oleh karenanya maka kerahasiaan data dan melindungi pengguna adalah hal yang tidak dapat ditawar dalam penyelenggaraan kegiatan pinjol. Hal ini juga sejalan dengan POJK No 1/POJK.07/2013 mengenai perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.

Selain berbagai kewajiban tersebut POJK juga mengatur larangan bagi pinjol dalam menjalankan usahanya. Antara lain, larangan melakukan kegiatan usaha selain yang diatur dalam POJK, bertindak sebagai pemberi atau penerima pinjaman, mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan, dan melakukan penawaran layanan melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan.

Akibat Hukum - Perdata

Pelanggaran atas berbagai ketentuan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum, baik perdata maupun pidana. Akibat hukum secara perdata berdampak pada keabsahan perjanjian pinjam meminjam dan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Untuk itu Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah ketentuan yang digunakan sebagai rujukan.

Pasal 1320 KUHPerdata mencantumkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, subjektif dan objektif. Syarat subjektif berkaitan dengan subjek atau pelaku perjanjian, yaitu kata sepakat dan kecakapan para pihak. Syarat objektif berkaitan dengan objek perjanjian, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal.

Tidak terpenuhinya salah satu syarat ini dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada.

Pelanggaran seperti tiadanya izin ataupun pemberian informasi fiktif dapat menyebabkan tidak terpenuhinya baik syarat subjektif ataupun objektif dalam perjanjian pinjol, sehingga perjanjian menjadi tidak sah. Tidak sah dan batalnya perjanjian akan mempengaruhi kelanjutan pemenuhan hak dan kewajiban para pihak, termasuk kewajiban pembayaran debitur.

Namun hingga saat ini masih belum ada ketentuan yang memungkinkan salah satu pihak dalam perjanjian untuk dapat memutuskan, dengan pertimbangan dan keinginannya sendiri, sah atau batal tidaknya suatu kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuatnya. Demikian halnya dengan akibat hukum yang muncul dari pembatalan tersebut.

Pasal 1266 KUHPerdata mengatur mengenai batalnya perjanjian dalam hal terjadi salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Antara lain dinyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.

Sementara mengenai akibat pembatalan itu sendiri Pasal 1267 KUHPerdata mengatur bahwa Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Apabila kedua pasal tersebut tidak dikecualikan dalam perjanjian pinjam meminjam maka baik debitur maupun kreditur akan terikat pada ketentuan tersebut. Mereka dapat memanfaatkannya untuk menyusun dalil yang akan diajukan, dalam hal pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.

Akibat Hukum - Pidana

Akibat hukum secara pidana berdampak pada pribadi individu yang melakukannya. Misalnya, apabila pada saat melakukan penawaran petugas pinjol ilegal berbohong dengan mengaku telah memiliki izin OJK untuk membujuk orang mengambil pinjaman. Hal tersebut selain melanggar ketentuan dalam POJK mengenai transparansi dan larangan memberikan informasi yang menyesatkan, juga dapat memenuhi unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam KUHP.

Unsur pidana juga dapat terpenuhi jika ada pengancaman saat penagihan, penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan data pribadi dan penyebaran berita bohong melalui media sosial atau kepada orang lain. Mengingat modus kejahatan pinjol ilegal dilakukan melalui sistem elektronik maka selain KUHP dapat diberlakukan pula UU No.11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Melihat pemberitaan yang ramai di media, terlihat banyak kemungkinan telah terjadinya berbagai pelanggaran atas UU ITE yang dilakukan oleh pinjol ilegal atau para petugas mereka. Misalnya, apabila ada penagihan melalui sms atau whatsapp yang disertai dengan ancaman. Dapat diduga telah terjadi pelanggaran atas larangan mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Apabila ancaman tersebut disertai dengan penyebaran konten porno, dapat diduga telah terjadi pelanggaran atas larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Sementara apabila data dan informasi pinjaman debitur disebarkan ke pihak-pihak lain yang namanya ada dalam daftar kontak debitur, dapat diduga telah terjadi pelanggaran atas larangan memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.

Upaya Hukum

Upaya penyelesaian sengketa secara perdata dapat dilakukan dengan musyawarah atau dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sementara secara pidana yang perlu dilakukan korban atau pihak yang dirugikan adalah melaporkannya ke pihak kepolisian.

Bagi sebagian besar masyarakat, terutama kalangan yang menjadi korban atau debitur pinjol ilegal, baik proses perdata maupun pidana bukanlah hal yang sederhana. Proses apapun yang ditempuhnya, masyarakat pasti sebaiknya memperoleh pendampingan hukum yang baik agar tidak salah dalam mengambil keputusan.

Kegiatan peningkatan literasi makin dibutuhkan agar masyarakat lebih memahami situasi yang ada. Serta, apabila telah terjebak, upaya yang dapat ditempuhnya. Demikian juga dukungan para pemangku kepentingan lainnya atas upaya Pemerintah untuk mengatasinya. Kaum profesional, terutama yang bergerak dalam bidang hukum, tentunya berada pada posisi yang tepat untuk dapat membantu memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat.

*)Yosea Iskandar, Praktisi Hukum Perbankan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.
Tags:

Berita Terkait