Permohonan dengan Jumlah Mahasiswa Terbanyak
Mahasiswa Bergerak

Permohonan dengan Jumlah Mahasiswa Terbanyak

Selain melakukan aksi parlemen jalanan, mahasiswa dari berbagai kampus melawan pelemahan KPK lewat revisi UU No. 30 Tahun 2002.

Normand Edwin Elnizar/MYS/M-30
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Meskipun permohonan mahasiswa itu kandas di tengah jalan bukan berarti tidak ada permohonan pengujian terhadap UU KPK hasil revisi. Pada akhirnya tiga pimpinan KPK –Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang—mengajukan pengujian atas UU No. 19 Tahun 2019. Hingga kini permohonannya belum diputus.

 

Selain itu ada juga permohonan pengujian UU yang sama diajukan oleh 12 orang pemohon terdiri dari advokat, aktivis antikorupsi, dan mahasiswa hukum. Permohonan ini pun masih dalam proses persidangan.

 

Baca juga:

 

Pidana Mati untuk Pelaku Korupsi

Selain UU KPK, ada juga permohonan pengujian UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor). Mahasiswa beragam kampus, termasuk mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Universitas Sahid Jakarta, bersama dosen dan wirawasta mengajukan permohonan pengujian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Mahasiswa yang menjadi pemohon adalah Ade Putri, Oktav Dila Livia, Ikhsan Prasetya Fitriansyah, dan Felix Juanardo Winata.

 

Para pemohon mendalilkan bahwa frasa ‘keadaan tertentu’ dan ‘bencana alam nasional’ dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi substansi yang diperjuangkan mahasiswa dan pemohon lain adalah menerapkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan korupsi atas dana-dana penanggulangan bencana. Korupsi dana penanggulangan bencana, terlepas apakah bencananya bersifat nasional atau hanya di daerah tertentu, adalah tindakan tidak manusiawi.

 

Namun dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi tidak mengakui legal standing pemohon mahasiswa. Dua orang mahasiswa Universitas Sahid, yakni Ade Putri Lestari dan Oktav Dila Livia, serta dua orang mahasiswa UGM Yogyakarta, yakni Ikhsan Prasetya Fitriansyah dan Felix Juanardo Winata, dianggap; tidak dapat membuktikan kerugian konstitusional. Meskipun para mahasiswa ini tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan masyarakat dan pertanyaan diskusi di kelas mengenai tidak diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor dana bencana alam, tak berarti menghalangi para pemohon memajukan diri dalam memperjuangkan hak dan membantgu masyarakat. Masalah yang sama dihadapi oleh banyak orang lain, dan bukan masalah konstitusional para pemohon mahasiswa. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi hanya mengakui legal standing warga korban bencana alam.

 

Dalam amar Putusan MK No. 4/PUU-XVII/2019 majelis hakim menyatakan permohonan I sampai V dan Pemohon VIII sampai IX tidak dapat diterima; dan permohonan Pemohon VI dan VII ditolak. Majelis juga menyatakan pertimbangan Mahkamah mengenai frasa ‘keadaan tertentu’ mutatis mutandis dengan putusan sebelumnya, yakni putusan MK No. 44/PUU-XII/2014. Permohonan terakhir ini diajukan dua orang warga yang bukan mahasiswa.

Tags:

Berita Terkait