Perludem Sebut Pemilu 2024 Tidak Ramah Perempuan
Melek Pemilu 2024

Perludem Sebut Pemilu 2024 Tidak Ramah Perempuan

Keterlibatan perempuan harusnya bisa lebih didorong, ditingkatkan, dan diberdayakan walaupun belum optimal.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Pemilu 2024 diharapkan menjadi perjalanan demokrasi dengan terwujudnya keterwakilan perempuan dan hak politik perempuan. Namun, Titi mengatakan Pemilu 2024 terbukti tidak ramah terhadap perempuan. Hal ini dibuktikan salah satunya dengan Peraturan KPU No.10 Tahun 2023.

Isinya menggunakan pembulatan ke bawah soal 30% keterwakilan perempuan. Peraturan tersebut justru membuat banyak dapil yang keterwakilan perempuannya tidak memenuhi jumlah 30%.

“Dari sisi kebijakan, itu sebuah kemunduran. Tetapi akhirnya masyarakat sipil menggugat ke Mahkamah Agung yang akhirnya kebijakan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tetapi kemudian, ketika dibatalkan, kebijakan itu tidak dilaksanakan KPU. Sungguh ironis,” ujarnya.

Hasil pemilihan legislatif di Pemilu 2024 menunjukkan peningkatan jumlah perempuan yang terpilih di DPR RI. Namun, peningkatan ini menurut Titi tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan. Pasalnya perempuan yang terpilih hanya sebanyak 128 orang dari total 580 anggota DPR RI. Hal ini berarti hanya 22,1% keterwakilan perempuan di periode 2024/2029.

“Kenapa keterwakilan minimal 30% ini penting, menurut PBB dalam kelompok beragam, maka ada satu kelompok yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan jika jumlahnya paling sedikit 30%, itu pun paling sedikit dan tidak pula tercapai,” ujarnya.

Kuota pencalonan perempuan minimal 30% sangat berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu di Indonesia. Oleh karena itu, aturan keterlibatan perempuan bisa didorong, ditingkatkan, dan diberdayakan meski belum optimal.

Affirmative action 30% keterwakilan perempuan di parlemen menunjukkan bahwa undang-undang telah menghadirkan perempuan dalam politik. Partai politik diharapkan dapat membangun strategi politik perempuan baik dalam penyertaan atau melibatkan perempuan secara formal. Caranya antara lain dengan mendorong keikutsertaan perempuan dalam partai politik.

Selama masyarakat masih diskriminatif terhadap perempuan—yang kerap dilabeli sebagai warga negara kelas dua—, maka selama itu pula harus ada kebijakan afirmasi yang adil bagi perempuan.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti dalam kesempatan yang sama mengatakan keterwakilan perempuan sebanyak 22,1% harus ditelaah lagi. Apakah jumlah itu sungguh dapat mewakili kepentingan perempuan atau hanya soal keterwakilan simbolis semata.

“Apakah dalam tugasnya keterwakilan perempuan dalam DPR itu dapat memastikan UU soal kekerasan seksual atau dapat menangani isu dalam negeri soal diskriminasi terhadap perempuan. Kalau mereka tidak mewakili itu semua, berarti keterwakilan ini hanyalah sebagai simbolis semata, bukan benar-benar mewakili perempuan lainnya. Untuk itu melihat perspektif itu penting,” ujar Bivitri.

Tags:

Berita Terkait