Percepatan Sidang Istimewa
Kolom

Percepatan Sidang Istimewa

Tuntutan mundur bagi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeras dan menimbulkan polemik pada soal-soal legal formal ketatanegaraan. Bola yang dilemparkan oleh Ketua DPR Akbar Tandjung yang menyatakan bahwa secara konstitusional DPR tidak dapat mempercepat Sidang Istimewa (SI), disambut oleh Ketua MPR Amien Rais bahwa MPR pun tidak dapat melakukan hal itu.

Bacaan 2 Menit
Percepatan Sidang Istimewa
Hukumonline

Belakangan, Amien Rais pun justru menyatakan bahwa hanya fraksi-fraksi di DPR lah yang dapat melakukan percepatan SI secara konstitusional. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagai fraksi terbesar dalam DPR/MPR yang secara politik akan diuntungkan, berpendapat bahwa mereka akan mencari "celah" konstitusional untuk dapat mempercepat SI.

Analisis terhadap polemik ini memang tidak dapat semata-mata dilihat dari kaca mata legal formal. Tidak dapat dipungkiri bahwa percepatan perubahan konstelasi politik nasional yang didukung oleh aksi penolakan Gus Dur yang semakin menghebat merupakan faktor penting dalam persoalan ini.

Walau demikian, pandangan-pandangan berdasarkan hukum yang berlaku harus tetap dikedepankan. Apalagi Indonesia sendiri masih dalam masa transisi, sehingga konvensi-konvensi ketatanegaraan akan mempunyai peran penting dalam penataan ulang bangunan-bangunan hukum dan politik yang harus dilakukan.

Agenda Sidang Istimewa

Keberadaan SI memang tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam satu tahun. Adalah Ketetapan MPR sendiri yang kemudian mengatur lebih lanjut mengenai SI, yaitu melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga-Lembaga Tertinggi Negara dengan/Atau Lembaga-Lembaga Tinggi Negara ("Tap. III/1978").

Dalam Tap MPR tersebut diatur bahwa MPR dapat meminta pertanggungjawaban presiden sebelum masa jabatannya habis apabila ia dinilai "sungguh-sungguh" melanggar haluan negara. Untuk itu, ada prosedur yang harus ditempuh sebelumnya, yaitu dua kali memorandum yang disampaikan oleh DPR kepada presiden dalam jangka waktu masing-masing tiga bulan dan satu bulan.

Dalam penafsiran secara formal, dari Tap III/1978 dapat disimpulkan bahwa SI yang diagendakan untuk meminta pertanggungjawaban presiden hanya dapat diadakan setelah melalui prosedur memorandum. Tanpa adanya agenda ini berikut prosedur yang mendahuluinya, MPR tidak dapat secara serta merta menjatuhkan presiden dari jabatannya. Apalagi mekanisme SI sendiri diatur dalam suatu Ketetapan MPR, sehingga untuk mengubahnya dengan cara mempersingkat waktu misalnya, harus dilakukan dengan Ketetapan MPR pula dan tidak dapat dilakukan dengan keputusan Ketua MPR semata.

Perlu diingat pula bahwa Ketua MPR di sini bukanlah suatu jabatan struktural yang dapat memberikan keputusan, melainkan lebih berfungsi sebagai "koordinator" di antara wakil rakyat lainnya yang duduk di MPR. Karenanya, keputusan yang dihasilkan oleh MPR harus dikeluarkan melalui prosedur yang melibatkan seluruh anggotanya.

Kemudian, untuk membuat suatu ketetapan, MPR harus mengadakan sidang yang dihadiri oleh duapertiga anggota MPR dan harus disetujui oleh lebih dari setengah anggota yang hadir. Padahal, kesempatan pertama MPR mengadakan sidang baru akan terjadi pada Sidang Tahunan 2001 di bulan Agustus mendatang, yang melampaui batasan empat bulan sejak dikeluarkannya memorandum DPR yang pertama. Oleh karena itu, tidak ada cara "konstitusional" yang dapat ditempuh untuk menjatuhkan presiden, selain dari mekanisme SI yang sudah ditetapkan dalam Tap. III/1978.

Percepatan SI dan Sistem Presidensil

Pendapat lainnya yang sempat mengemuka adalah MPR sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada presiden dapat menarik mandatnya itu melalui persetujuan mayoritas anggotanya. Cara ini dianggap sah dan konstitusional, karena bagaimanapun MPR adalah lembaga tertinggi yang dapat mengatasi konflik dalam lembaga-lembaga tinggi di bawahnya.

Dari segi yuridis, hal ini memang dapat dilakukan, mengingat bahwa Tata Tertib MPR mengatur Sidang Istimewa Majelis adalah sidang MPR selain Sidang Umum dan Sidang Tahunan; sidang untuk meminta pertanggungjawaban presiden; dan sidang untuk mengisi lowongan jabatan presiden apabila presiden berhalangan tetap. Dengan adanya klausul ini, MPR dapat saja menyelenggarakan suatu SI untuk kemudian mencapai suara mayoritas untuk mencabut mandat presiden.

Namun secara teoritis, sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia tidak mengenal adanya mosi tidak percaya dari parlemen yang berakibat pada jatuhnya kepala pemerintahan. Sistem presidensil murni mengandung tiga karakteristik utama, yaitu presiden yang merupakan hasil pemilihan umum,  tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya, dan memimpin suatu pemerintahan yang ditunjuk oleh dirinya sendiri (Sartori, 1997: 84).

Sistem yang dianut oleh UUD 1945 memang tidak dapat dikatakan memenuhi karakteristik ini dengan adanya presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh MPR. Walau demikian, menganalogikan sistem yang diadopsi oleh UUD 1945 dengan sistem parlementer yang memungkinkan parlemen menjatuhkan mosi tidak percaya kepada presiden juga sama sekali tidak tepat.

Prosedur SI yang diatur dalam hukum tata negara Indonesia memang suatu hal yang unik, ditujukan untuk mencegah adanya konflik politik berkepanjangan antara presiden dan DPR yang dapat menyebabkan jalannya pemerintahan tidak lagi efektif. Berdasar pada titik inilah beberapa ahli hukum tata negara kemudian mengkategorikan sistem ini sebagai "quasi-presidensial" (Kusnardi dan Ibrahim, 1988: 180).

Akan tetapi, perlu ditelaah lebih jauh bahwa prosedur ini lebih terlihat didasarkan pada logika bahwa mandat presiden diberikan oleh MPR sebagai "pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat" (Penjelasan UUD 1945) daripada soal deadlock politik antara kepala pemerintahan yang memimpin anggota kabinet yang merupakan ruling party dalam parlemen pada sistem parlementer.

Dalam mekanisme SI, bukan mosi tidak percaya yang dijatuhkan atas presiden, melainkan pertanggungjawaban atas haluan negara (mandat) yang diberikan kepadanya. Dari pertanggungjawaban inilah kemudian MPR dapat memutuskan layak atau tidaknya presiden yang bersangkutan meneruskan masa jabatannya. Oleh karena itu, percepatan SI dengan cara demikian sama sekali tidak relevan dengan sistem presidensil yang dianut UUD 1945.

Mungkinkah ada "celah" hukum?

UUD 1945 menyatakan bahwa kedudukan MPR adalah "lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat". Walaupun kedudukan ini sudah tidak lagi relevan dan harus segera diganti, dengan posisi yang hingga sekarang belum direvisi ini, dicabutnya mandat oleh MPR dengan suara mayoritas secara politik memang mungkin untuk dilakukan. Tetapi pertanyaan yang harus dikemukakan kemudian adalah: apakah kita akan mengambil "celah" itu?

Perlu dicermati bahwa dilakukannya upaya tersebut akan membentuk suatu preseden baru dalam ketatanegaraan. Walaupun baru berlaku sekali, tindakan itu akan dapat dijadikan rujukan dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang. Akibatnya, bukan tidak mungkin bahwa presiden Indonesia di masa yang akan datang akan dengan mudah digoyahkan kedudukannya oleh kekuatan politik yang berseberangan. Apabila hal ini yang akan terjadi, sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia akan semakin rancu dengan sistem parlementer.

Persoalannya bukan terletak semata-mata pada masalah teoritis dalam perdebatan soal sistem parlementer dan presidensil. Karena, sistem pemerintahan memang mengandung banyak varian berdasarkan kondisi masing-masing negara. Namun dalam analisis lebih jauh, variasi-variasi dalam sistem pemerintahanpun tercipta dalam dari diskursus untuk mencapai sistem politik yang demokratis tanpa meminggirkan salah satu tujuan negara untuk memberikan iklim politik yang kondusif bagi warga negaranya.

Dalam konteks ini pula sistem ketatanegaraan Indonesia seharusnya diletakkan. Sistem politik yang cenderung parlementer dalam soal masa jabatan kepala pemerintahan, yang dipadu dengan karakteristik sistem presidensil yang memposisikan presiden sebagai kepala pemerintahan dengan kabinet yang bukan bagian dari parlemen, akan menimbulkan pemerintahan yang sama sekali tidak stabil.

Apabila model ini yang akan dilanggengkan, tujuan negara untuk memberikan warganya perlindungan dan kesejahteraan akan sulit untuk dicapai. Bahkan dalam kondisi yang sekarang, menjadi sulit untuk dibayangkan sulitnya perjalanan bangsa ini dalam masa transisi menuju demokrasi. Agenda-agenda reformasi yang saat ini pun sudah tertunda akan menjadi semakin tidak jelas.

Akhirnya, persoalannya memang bukan hanya berada di seputar setuju atau tidak menggantikan Presiden Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi, bagaimana menjaga agar masa transisi ini dapat dijalani dengan selamat dengan menuntaskan agenda-agenda reformasi yang ada.

Soal-soal korupsi dan kejahatan kemanusiaan di masa lalu jelas tidak dapat diabaikan begitu saja, demi agenda politik jangka pendek. Landasan hukum yang sudah ditata oleh MPR sendiri, jelas tidak dapat dilangkahi secara gegabah dengan konsekuensi terciptanya sistem politik yang semakin tidak sehat untuk menuntaskan tugas-tugas reformasi yang belum terselesaikan.

 

Bivitri Susanti adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

 

Tags: