Perbandingan Pengaturan Pajak UMKM dalam Peraturan Pemerintah
Kolom

Perbandingan Pengaturan Pajak UMKM dalam Peraturan Pemerintah

Ada perbedaan signifikan antara PP No.23 Tahun 2018 dan PP No.55 Tahun 2022, salah satunya terkait nominal penghasilan tidak kena pajak untuk peredaran usaha.

Bacaan 5 Menit
Ari Irfano. Foto: Istimewa
Ari Irfano. Foto: Istimewa

Perkembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia berkembang sangat pesat. Kondisi ini mendorong pemerintah meningkatkan kepatuhan UKM atau UMKM sebagai Wajib Pajak dalam membayar pajak. Sikap pemerintah ini bisa dilihat dari perbandingan ketentuan di antara PP No.55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan (PP No.55 Tahun 2022) dengan PP No.23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP No.23 Tahun 2018).

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah (UU UMKM) mendefinisikan Usaha Mikro sebagai usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Kriteria-kriteria itu ada dalam UU UMKM sendiri. Di sisi lain, peraturan perpajakan mendefinisikan UMKM dari sisi penghasilan atas usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto atau omzet di bawah Rp4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak. Ketentuan ini bisa ditemukan dalam Pasal 56 ayat 1 PP No.55 Tahun 2022.

Baca juga:

Tarif Pajak Penghasilan UMKM Yang Berlaku Saat Ini

Pemerintah menetapkan tarif pajak UMKM sebesar 0,5% dari setiap penghasilan yang didapat oleh pelaku UMKM. Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018—sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu—yang berlaku sejak Juli 2018. Wajib pajak yang menjalankan bisnis UMKM tersebut dapat memilih menggunakan tarif 0,5% atau menggunakan tarif sesuai dengan Pasal 17 UU No. No.7 Tahun 1983 jo.No.7 Tahun 1991 jo.No.10 Tahun 1994 jo.No.17 Tahun 2000 jo.No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Pada bulan Desember tahun 2022, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah terbaru yaitu PP No.55 Tahun 2022. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Peraturan pemerintah tersebut juga mengatur tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu yang sebelumnya diatur dalam PP No 23 Tahun 2018. Oleh karena itu, PP No.55 Tahun 2022 mencabut dan menggantikan PP No.23 Tahun 2018.

PP No.55 Tahun 2022—yang mengatur tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu—masih menggunakan tarif 0,5%. Namun, Pasal 60 ayat 2 PP No.55 Tahun 2022 menjelaskan jika Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,- dalam satu tahun pajak tidak dikenakan PPh final 0,5%. Selain itu, ada tambahan pula bagi subjek pajak yang dapat memanfaatkan ketentuan PPh final 0,5% yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) dan perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang.

Tentu saja ada perhitungan transisi jangka waktu atas berlakunya ketentuan baru ini. Wajib Pajak yang terdaftar setelah berlakunya PP ini, jangka waktu pengenaan PPh bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak bersangkutan terdaftar. Lalu, Wajib Pajak BUMDes/BUMDesma atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang yang terdaftar sebelum berlakunya PP ini, jangka waktu pengenaan PPh bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak PP terbaru ini berlaku. Apabila pada tahun berjalan peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi Rp4.800.000.000,- , penghasilan yang lebih tersebut tetap dikenai tarif final dan akan mulai dikenai tarif Pasal 17 UU PPh pada Tahun Pajak selanjutnya. Pasal 61 ayat 1 dan 2 PP No.55 Tahun 2022 mengatur Wajib Pajak yang bersangkutan tidak boleh lagi menggunakan tarif PPh final 0,5%.

Tags:

Berita Terkait