Peran Kunci Presiden dalam Penyelesaian Alih Status Pegawai KPK
Kolom

Peran Kunci Presiden dalam Penyelesaian Alih Status Pegawai KPK

Terdapat lima alasan kenapa hanya Presiden yang menjadi harapan untuk menyudahi polemik alih status pegawai KPK.

Bacaan 6 Menit
Korneles Matera. Foto: Istimewa
Korneles Matera. Foto: Istimewa

Sejak revisi UU KPK, banyak pihak telah memprediksi revisi akan menggangu KPK dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Jika masih ingat, pada Januari 2020, KPK mengalami hambatan terparah dalam sejarah penegakan hukumnya tatkala hendak melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam kasus eks Komisioner KPU dan Harun Masiku yang hingga kini masih berstatus buron.

KPK tidak bisa menyegel salah satu kantor dan tidak bisa melakukan upaya paksa. Hal ini buntut dari birokrasi penegakan hukum yang berhubungan dengan izin dari Dewan Pengawas KPK. Ini sekaligus jadi catatan sejarah bangsa dan rezim pemerintahan berkuasa.

Dua tahun berselang kini, polemik membangkak. Implementasi ketentuan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara menyimpang dan melanggar hak asasi manusia. Ada 56 pegawai KPK yang akhirnya disingkirkan dari gelanggang KPK. Mereka diberhentikan karena dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Persoalannya, penempatan TWK sebagai instrumen alih status tidak tepat. Sebab mereka bukan calon pegawai melainkan pegawai yang akan dialih-statuskan. Ini satu konsep keliru yang dinormalisasikan oleh KPK, BKN, dan lain-lain.

Penyalahgunaan Serius

Persoalan fundamental dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK melalui TWK adalah indikasi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup serius. Ombudman RI (ORI) menemukan beberapa penyimpangan dari proses administrasi yakni kontrak swakelola KPK dan BKN backdate, BKN tak punya kompetensi (instrumen hukum tidak ada, penguasaan instrument tidak terpenuhi, asesor yang tidak berkualifikasi, dst), pimpinan KPK tidak transparan, dan penyalahgunaan wewenang (pejabat tidak berwenang menandatangani dokumen).

Sementara itu, Komnas HAM RI menemukan 11 jenis pelanggaran hak asasi manusia meliputi hak atas keadilan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, hak atas kebebasan berpendapat.

Dalam kerangka prinsip checks and balances, temuan ORI dan Komnas HAM RI bagian dari mekanisme kontrol atas penggunaan wewenang penyelenggaraan pemerintahan terkait alih status. Bahwa ditemukan bukti pelaksanaan wewenang oleh lembaga-lembaga terkait yang menyelenggarakan TWK tersebut tidak sesuai mekanisme formal dan substansi/materi yang semestinya. Bahwa wewenang yang dimilikinya terindikasi disalahgunakan. Tentu menarik untuk menerawang untuk apa penyalahgunaan dilakukan. Dari analisis atas situasi-konteks dan konten mengindikasikan bahwa tujuan TWK justru untuk menyingkirkan 75 orang (semula) yang kemudian direvisi menjadi 56 orang. Penyingkiran itu sendiri diduga berkaitan dengan kepentingan penyelenggara.

Konflik kepentingan secara sederhana diartikan “a situation that has the potential to undermine the impartiality of a person because of the possibility of a clash between the person’s self-interest and professional interest or public interest.” Konflik kepentingan terjadi ketika kepentingan pribadi bercampur dengan tugas dan tanggung jawab resmi.

Tipe-tipe konflik yang juga termanifestasikan dalam penyelenggaraan alih status pegawai KPK dengan TWK antara lain tujuan tidak dirumuskan dengan jelas, adanya peran yang tidak jelas/ketiadaan uraian tugas (unclear roles/lack of job description), penyelenggara negara memberikan akses khusus kepada pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen pegawai tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya, dan adanya situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang menyalahgunakan wewenang (vide, Dwi Budi Sulistiyana dan Gotfridus Goris Seran: 2016).

Menegasikan Reformasi Birokrasi

TWK yang bermasalah lebih dari sekadar persoalan biasa yakni masalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi telah menjadi agenda penting Presiden Joko Widodo selama dua periode pemerintahannya. Hal itu tertuang dalam komitmen tertulis berupa visi dan misi serta penyampaian lisan dalam debat dan pernyataan sikap publik.

Joko Widodo pada 2014 menyatakan penguatan KPK dari sisi independensi mencakup penambahan personil, reformasi birokrasi, pendanaan partai politik, transparan dan akuntabilitas pemerintahan serta pencegahan dan pemberantasan korupsi politik. Rekam jejak yang cukup baik menarik perhatian pemilih sehingga memilihnya sebagai Presiden.

Pada Pilpres 2019, isu korupsi tak ketinggalan dibahas. Joko Widodo bersama pendampingnya KH Ma’aruf Amin menyatakan fokusnya pada bidang perizinan dan tata niaga, keuangan negara, penegakan hukum, dan reformasi birokrasi di setiap kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga. Pada pengenalan anggota Kabinet Indonesia Maju tanggal 23 Oktober 2019, salah satu perintah Jokowi adalah perlu menciptakan sistem yang menutup celah korupsi.

Sementara itu, penyelenggaraan alih status lebih dengan TWK tidak berorientasi pada pencapaian tujuan reformasi birokrasi dan cenderung merupakan hasil dari tindakan yang koruptif. Sebab pelaksanaan alih status pegawai KPK tidak mencerminkan upaya untuk menciptakan clean government dan good governance. Tujuan reformasi birokrasi antara lain yakni mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy; meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; dan meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; (vide, PP 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025).

Dalam konteks inilah, kita menagih janji kepada Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan agenda reformasi birokrasi agar tidak terkesan isu ini menjadi isu yang hanya dipergunakan dalam menarik dukungan elektoral. Dalam bahasa lain, jangan lips service. Bahwa jika tidak diperbaiki, kecerundangan lembaga-lembaga atau instansi-instansi pemerintah mengulangi praktik yang buruk akan berulang kembali. Padahal seharusnya mereka mendukung agenda Presiden dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi.

Peran Presiden

Dalam kerangka sistem pemerintahan Presidensial, Presiden tidak hanya diletakkan sebagai pusat kekuasaan eksekutif tapi juga kekuasaan negara. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden mengatur dan memimpin tata kelola pemerintahan juga menentukan kebijakan hukum. Penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam konteks ini merupakan tanggungjawab yang diembankan kepada Presiden. Ini amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

Meskipun tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dalam praktiknya dijalankan oleh pejabat, jabatan, atau lembaga/instansi lain, hal tersebut tidak berarti bahwa Presiden lepas tangan. Dalam konteks alih status pegawai KPK sebagai ASN, secara yuridis Presiden punya tanggung jawab tertinggi karena kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PP 17 Tahun 2020. Bahwa wewenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS oleh KPK dalam konteks ini dilihat sebagai delegasi kewenangan dari Presiden. Delegasi kewenangan artinya tidak melepaskan kewenangan sehingga sewaktu-waktu dapat ditarik kembali kewenangan oleh empunya kewenangan.

Mengapa mendesak bagi Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan pemberhentian 56 pegawai KPK yang sebelum waktunya kini sudah diberhentikan (rushing to decide)?

Pertama, karena pelaksanaan delegasi kewenangan oleh KPK, BKN, dan lain-lain diduga menyimpang. Ada dua persoalan yakni prosedural dan substansi. Prosedural terkait proses yang tidak sesuai kaidah formal. Hal ini telah menjadi temuan ORI, bahwa KPK, BKN, BIN dan beberapa lembaga penyelenggara TWK telah menyimpang dari prosedur yang baik (due process) alias maladministrasi. Sedangkan, persoalan substansi yang cukup mendasar adalah pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini berdasarkan temuan Komnas HAM RI bahwa ada 11 pelanggaran HAM. Apalagi pemberhentian itu sendiri berpotensi besar menghidupkan stigma negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, koreksi final harus dilakukan oleh empunya kewenangan yakni Presiden sendiri.

Kedua, pelanggaran atas konstitusi. Temuan Komnas HAM sudah jelas bahwa pelanggaran atas konstitusi telah dilakukan oleh bawahan Presiden. Maka, sesuai Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, Presiden harus menegakkan kembali konstitusi.

Ketiga, bahwa dengan pembatalan pemberhentian tersebut, Presiden secara langsung memperbaiki reformasi birokrasi dan mencegah praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Presiden dengan begitu melakukan evaluasi dan pencegahan hal yang sama di kemudian hari. Selain itu, Presiden menunjukan teladan untuk menghormati kewenangan ORI dan Komnas HAM dan melaksanakan hasil kerjanya yang berangkat dari prinsip checks and balances.

Keempat, bahwa dalam hal lain ke-56 orang tersebut adalah orang berintegritas dan berdedikasi dalam pekerjaan. Tidak ada kejahatan yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, mempertahankan mereka jauh lebih baik ketimbang memecat. Kita melihat bahwa praktik selama ini, ASN bermasalah saja sulit diberhentikan, bahkan memakan waktu puluhan tahun ada yang bahkan tidak diberhentikan sama sekali. Mengapa tidak untuk mereka yang sudah terbukti? Bahwa mereka tanpa lelah dan tak ada kompromi atas intervensi kekuasaan manapun telah dibuktikan. Banyak kasus-kasus korupsi kakap yang sedang ditangani kini harus lepas. Adalah satu kerugian bagi bangsa Indonesia memberhentikan orang-orang ini.

Kelima, turun tangan Presiden bukan sekadar upaya memulihkan situasi sesaat. Sebab tanpa Presiden agaknya mustahil keadilan bagi ke-56 pegawai ada. Dan, bahwa pelanggaaran-pelanggaran yang ada akan jadi rekam jejak buruk. Penyelesaian langsung Presiden simbol bahwa masih ada sekelumit komitmen atau political will terhadap agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Pada akhirnya, hanya Presiden seorang yang digantungkan harapan yang baik untuk menyudahi polemik alih status pegawai KPK. Secara yuridis, ada cukup banyak alasan menurut hukum yang menjadi dasar tanggungjawab Presiden. Dengan kata lain, tidak ada alasan hukum yang kuat untuk mencuci tangan dari kisruh ini. Semoga Bapak Presiden Joko Widodo memilih berpihak kepada kebenaran.

*)Korneles Materay, S.H., Peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait