Penundaan Pemilu Serentak 2024 melalui Putusan Pengadilan Negeri
Kolom

Penundaan Pemilu Serentak 2024 melalui Putusan Pengadilan Negeri

Selain melawan beberapa pasal di dalam konstitusi dan UU Pemilu, putusan tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan pada Perma No. 2 Tahun 2019.

Bacaan 4 Menit

Menilik lebih jauh Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, seharusnya tidak terdapat ruang bagi pengadilan untuk memerintahkan penghentian tahapan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Perkara yang diajukan oleh Partai Prima adalah dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU yang mengakibatkan gagalnya partai tersebut menjadi peserta pemilihan umum. Seharusnya, ketika majelis hakim meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh KPU, maka putusan pengadilan hanya perlu memulihkan hak Partai Prima selaku pemohon agar dapat berpartisipasi dalam Pemilu Serentak 2024, tanpa harus memberikan perintah tambahan untuk menunda pemilihan umum hingga tahun 2025.

Selain melawan beberapa pasal di dalam konstitusi dan UU Pemilu, putusan tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan pada Perma No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad). Kewenangan untuk memutus perkara yang berhubungan dengan tindakan KPU atas tidak lolosnya Partai Prima seharusnya merupakan wilayah yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun perkara tersebut berada di dalam ranah PTUN, mustahil akan terdapat perintah untuk melakukan penundaan terhadap Pemilu Serentak 2024.

Pasal 5 ayat (2) Perma a quo menegaskan bahwa dalam hal gugatan dikabulkan, Pengadilan dapat mewajibkan kepada pejabat administrasi pemerintahan untuk melakukan tindakan pemerintahan; tidak melakukan tindakan pemerintahan; dan menghentikan tindakan pemerintahan. Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara terkait dengan sengketa antara Partai Prima dan KPU.

Kita tentu mendorong agar semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pemilihan umum. Bahkan kita juga harus memberikan dukungan penuh bagi partai-partai politik yang merasa haknya telah dilanggar oleh penyelenggara pemilihan umum. Namun tindakan yang mengatasnamakan hukum tetapi secara langsung melawan konstitusi harus segera dibatalkan.

Setelah menyimak pertentangannya dengan beberapa peraturan perundang-undangan, maka sulit untuk menemukan rasionalitas hukum dalam memutus perkara a quo. Apalagi, majelis hakim sama sekali tidak menimbang ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945, UU Pemilu, hingga Perma No. 2 Tahun 2019. Upaya hukum pasti akan ditempuh oleh KPU untuk menganulir putusan tersebut, namun huru-hara yang ditimbulkan akan tetap berdampak pada tahapan Pemilu Serentak 2024 hingga munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi elektoral.

*)Hemi Lavour Febrinandez adalah Peneliti di sebuah kantor hukum di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait