‘Penghayat Kepercayaan’, Perlu Disikapi dengan Revisi UU Adminduk
Berita

‘Penghayat Kepercayaan’, Perlu Disikapi dengan Revisi UU Adminduk

Putusan MK menjadi momentum dalam melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan lainnya. DPR dan pemerintah mesti segera membahas menyikapi pelaksanaan putusan MK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghayat kepercayaan yang masuk dalam kolom identitas, seperti di kartu tanda penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga mesti ditindaklanjuti dengan revisi UU. Yakni, UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali, Jumat (10/11).

 

“Kalau saya melihat berdasarkan UU dan yang dibatalkan ketentuan dalam pasal UU, maka tentu harus ada revisi dan perubahan dalam UU (Adminduk, red) itu,” ujarnya.

 

Sebagai negara hukum, putusan MK mesti dihormati. Terlebih putusan MK bersifat final dan mengikat. Komisi II DPR pun berencana bakal berkomunikasi dengan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selepas masa reses usai guna membahas tindak lanjut putusan MK tersebut sebelum mengambil langkah untuk merevisi UU Adminduk.

 

Sebabnya, kata dia, pihak yang melaksanakan putusan MK itu adalah pihak pemerintah. Namun, agar mudah melaksanakan putusan MK tersebut, maka DPR dan pemerintah mesti bersepakat untuk segera melakukan revisi UU Adminduk. “Jadi yang paling memungkinkan kita merevisi UU tentang Administrasi Kependudukan,” kata dia. (Baca juga: Putusan MK, ‘Tonggak’ Penghapusan Praktik Diskriminasi Agama Lokal)

 

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) di MPR Muhamad Arwani Thomafi   berpandangan tindak lanjut putusan MK perlu kajian mendalam terkait pelaksanaan amar putusan MK agar penghayat kepercayaan dapat dituangkan dalam kolom agama di KTP dan KK sebagai identitas administrasi kependudukan.

 

“Tujuannya, agar ke depan tidak menimbulkan kegaduhan dan permasalahan yuridis dampak dari putusan MK tersebut. Seperti, muncul penolakan dan tantangan dari kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan putusan MK itu karena konsep negara kita didasarkan  negara berketuhanan,” ujarnya.  

 

Thomafi yang juga anggota Komisi I DPR itu berpandangan putusan MK bakal mendistorsi definisi agama dan spirit konstitusi negara sebagai negara berketuhanan. Bahkan, bisa jadi putusan MK dapat mengaburkan prinsip negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti ditegaskan Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945. Karena itu, pelaksanaan putusan MK tersebut mesti dituangkan dalam UU Adminduk hasil revisinya.

 

"Terkait pelaksanaan putusan MK tergantung hasil penyusunan dan pembahasan Revisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan oleh pembuat UU yakni DPR dan Presiden,” katanya. (Baca juga: Kini, ‘Penghayat Kepercayaan’ Masuk Kolom Identitas Kependudukan)

 

Lebih lanjut, Arwani menilai revisi UU Adminduk nantinya mesti masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas atau kategori daftar kumulatif terbuka atas putusan MK. Dengan begitu pelaksanaan putusan MK tersebut dapat dengan mudah dilaksanakan pihak pemerintah. Menurutnya, revisi UU Adminduk mesti mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan merupakan entitas yang berbeda dan dilindungi oleh konstitusi.

 

Terpisah, peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi berpendapat putusan MK telah sesuai dengan spirit konstitusionalitas Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agama masing-masing dan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaanya itu. “Secara simbolik,  pemeluk aliran kepercayaan diakui keberadaannya,” kata Ferdian.

 

Menurutnya, putusan MK tersebut mesti dijadikan momentum melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan lain. Sehingga, eksistensi pemeluk penghayat kepercayaan dalam identitas tidak hanya sekedar simbolik. Sebaliknya, justru putusan MK menjadi jaminan perlakuan yang sama oleh negara terhadap warga negaranya dalam menganut agama dan kelompok penghayat kepercayaan. (Baca juga: Pengkhayat Kepercayaan Persoalkan Pengosongan Kolom Agama)

 

“DPR dan pemerintah mesti bergerak dengan cepat untuk mengakomodasi putusan MK ini. Karena putusan ini bersifat final dan mengikat. Salah satunya, memang perlu melakukan perubahan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” katanya.

 

Sekedar diketahui,  Selasa (7/11) kemarin, MK memutuskan penghayat kepercayaan tertulis dalam kolom setiap identitas kependudukan sama halnya dengan agama yang diakui di Indonesia melalui pengujian Pasal ayat (1), (2), Pasal 64 ayat (1), (5) UU Adminduk. Bagi MK, pengosongan kolom yang diatur dalam UU Adminduk itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan.

 

Akibatnya, ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian penafsiran, sehingga penganut kepercayaan kesulitan memperoleh KK dan e-KTP. Hal itu tentu menimbulkan kerugian konstitusional yang mestinya tidak boleh terjadi. Untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, para penganut kepercayaan kini dapat mencantumkan kolom agama di e-KTP (KK) dengan tulisan “penghayat kepercayaan”. Tanpa perlu merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun e-KTP. Begitu juga dengan penganut agama lain.

 

Permohonan ini diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim yang merasa dirugikan atas berlakunya kedua pasal tersebut. Alasannya, dengan mengosongkan kolom agama pada e-KTP, pemohon kesulitan dalam memperoleh hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Misalnya, hak memperoleh jaminan pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial.

 

Tak hanya itu, sulitnya mendapatkan akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, proses pemakaman, hingga sulitnya diterima di tempat kerja karena kolom agamanya kosong yang berakibat aliran penghayat/kepercayaan dituding tidak beragama (atheis). Pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (2) UU Administrasi Kependudukan dianggap bertentangan dengan prisip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Atas dasar itu, pemohon meminta agar dinyatakan inkonstitusional sepanjang dimaknai frasa kolom agama termasuk juga kolom penghayat kepercayaan dan agama apapun.

Tags:

Berita Terkait