Penghapusan Abu Batubara dari Kategori Limbah B3 Dinilai Langgar Konstitusi
Utama

Penghapusan Abu Batubara dari Kategori Limbah B3 Dinilai Langgar Konstitusi

Bertentangan pula Penjelasan Pasal 2 huruf UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak dalam kasus pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU 32/2009 bakal sulit dilaksanakan. Tapi, pemerintah membantah karena tidak semua jenis FABA atau abu sisa pembakaran batu bara dikeluarkan dari kategori limbah B3.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Pria biasa disapa Akmal itu menolak PP 22/2021 dan meminta mencabut aturan melonggarkan pengelolaan abu batubara serta tetap mengategorikan FABA sebagai limbah B3. Baginya, kepentingan publik untuk mendapatkan hak lingkungan hidup yang sehat dan ekonomi jangka panjang menjadi keharusan. “Kami tidak mentolerir bentuk ketidakhati-hatian pemerintah yang dapat menyebabkan kerugian bagi kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat,” kata dia.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati melihat UU 11/2020 terbukti mewujudkan pelayanan pemerintahan Joko Widodo bagi pebisnis dengan mengorbankan kepentingan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Salah satu diantaranya dengan PP 22/2021 yang di dalamnya mengubah sembilan PP lain terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dia menilai dalam PP No.22/2021 ini aspek perlindungan lingkungan hidup hanya sekadar menjadi tempelan dalam judul peraturan pemerintah. Menurutnya, salah satu yang terdampak adalah PP No.101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3). Sementara dalam lampiran XIV PP 22/2021 ini, beberapa limbah B3 dikategorikan menjadi limbah non-B3. Seperti FABA PLTU batubara, spent bleach earth (SBE) industri minyak nabati/hewani, slag peleburan besi, slag peleburan nikel, serta lainnya.

“Di tengah masih belum terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah malah melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3. Ini adalah salah satu aksi kebijakan pemerintah yang sangat tidak etis,” ujar Nur Hidayati dalam keterangan.

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung menambahkan pemerintah seolah memberi kesan limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan bila dikategorikan sebagai limbah non-B3. Padahal, limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 sebagaimana diatur PP 101/2014. Dia menilai, pengubahan limbah B3 menjadi non-B3 secara menyeluruh tanpa melalui uji karakteristik menunjukan pemerintah bertindak serampangan.

“Padahal selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” bebernya.

Alih-alih melakukan pengetatan dan mengaplikasikan pencegahan berdasarkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), pemerintah malah melakukan upaya “pemutihan” kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan para pebisnis nakal. Karena itu, tindakan tersebut bertentangan dengan penjelasan asas kehati-hatian dalam Penjelasan Pasal 2 huruf F UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait