Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia
Kolom

Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Bacaan 2 Menit

Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat.  Suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice Sytem di Indonesia.

Pendekatan restorative justice

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

Kisah dari Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimanatertuang dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda mengenai konsep restorative justice ini;

Tags: