Penarikan Hibah dari Orang Tua kepada Anak
Kolom

Penarikan Hibah dari Orang Tua kepada Anak

Hakim pengadilan akan berpijak antara lain pada Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam dalam memutus perkara sengketa hibah.

Bacaan 4 Menit

Anaknya mempersoalkan harta yang dihibahkan itu karena merasa sudah mengeluarkan modal cukup besar untuk menggarapnya sebagai kebun sawit. Jumlah uang yang sudah digunakan sebesar Rp100 juta dengan kondisi belum menikmati hasilnya karena belum terjadi panen buah sawit. Bagaimana solusinya?

Lebih dahulu perlu juga diperhatikan apakah praktik hibah itu dilakukan secara lisan atau tertulis dengan akta yang dibuat pejabat berwenang. Kita sebenarnya sering melakukan praktik hibah dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk hibah yang sederhana serta biasanya hanya secara lisan. Namun, hibah dalam hal-hal besar dan berpotensi terjadinya sengketa sebaiknya dilakukan dengan tulisan dan disertai saksi. Perlu diingat bahwa hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal jika tidak dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). 

Ketentuan Pasal 37 ayat 1 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanahmengatur, Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ringkasnya, hibah atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Uraian soal hibah secara lisan dan tertulis bisa merujuk artikel Hukumonline berjudul Hibah Lisan dan Hibah Tertulis, Lebih Kuat yang Mana?.

Kembali pada persoalan semula. Tanah hibah telah berpindah kepemilikan secara sempurna saat orang tua masih hidup. Bisa dipastikan tanah itu adalah hibah orang tua terhadap anaknya. Namun, tidak pernah dibuat akta peralihan hak milik. Harta yang sudah dihibahkan itu menjadi harus dikembalikan kepada orang tua jika diminta.

Hanya saja yang bijaksana adalah tanpa mencederai hak anak yang sudah menggarap lahan dengan modal cukup besar. Jadi, harusnya tetap ada pengembalian hak anak dari hasil penjualan tanah yang dilakukan oleh orang tua. Caranya dengan menjual dahulu harta hibah kepada pihak lain misalnya seharga Rp300juta atau lebih. Selanjutnya Rp100 juta harus dikembalikan untuk anak. Jumlah uang sisanya menjadi hak orang tua yang kembali menjadi pemilik tanah seperti di awal sebelum dihibahkan kepada anak.

Dalil syariat soal ini merujuk terjemahan hadis Rasulullah SAW. dalam buku berjudul Qalam Jilid 6 halaman 343, yaitu “berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu di dalam hal pemberian, baik terhadap hibah, atau hadiah maupun shodaqoh”.

Hibah memang sering dilakukan mayoritas umat Islam di Indonesia. Wujudnya kerap terjadi dalam keluarga secara sukarela dan tanpa imbalan. Namun, tidak sedikit praktik hibah harta kekayaan dalam hubungan keluarga justru berujung sengketa hukum sampai ke Pengadilan. Jadi, penting diingat bahwa Hakim pasti akan berpijak antara lain pada Pasal 212 KHI dalam memutus perkara sengketa hibah.

*)Dicki Nelson S.H., M.H. dan Romy Alfius Karamoy, S.H., keduanya advokat di Jakarta.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait