Pemerintah Sebut Permohonan INews dan RCTI Bentuk Penambahan Norma Baru
Berita

Pemerintah Sebut Permohonan INews dan RCTI Bentuk Penambahan Norma Baru

Pemerintah meminta agar Yang Mulia Para Hakim Konstitusi menolak permohonan para pemohon atau setidak-tidaknya secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Pemerintah juga menilai akan menimbulkan pemaknaan yang keliru apabila menyeragamkan pengaturan atas jenis-jenis media, hanya karena diantara jenis-jenisnya yang berbeda dapat menyampaikan bentuk informasi yang sama. Landasan filosofi dibentuknya UU Penyiaran untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia, dan terlaksananya otonomi daerah.

“Penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Ahmad mengingatkan.

Seperti diketahui, para pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) yang diwakili David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk. 

INews dan RCTI mempersoalkan penyiaran melalui internet melalui uji materi beberapa pasal, salah satunya Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran terkait sistem penyiaran melalui spektrum frekuensi radio. Kedua pemohon meminta agar layanan siaran televisi secara online ini seharusnya diatur pula dalam UU Penyiaran karena memiliki unsur-unsur yang sama sebagaimana halnya lembaga penyiaran konvensional, seperti gambar, suara, grafis, karakter, dan lain-lain.

Para Pemohon melakukan pengujian materil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebutkan, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima.

Bagi Pemohon, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Secara sederhana OTT sebagai layanan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi melalui jaringan internet yang sedikitnya ada tiga kategori. Pertama, aplikasi seperti whatsapp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. Kedua, konten/video on demand/streaming, seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Netflix, Viu, dan lain-lain. Ketiga, jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber. 

Menurut pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran menggunakan internet seperti layanan OTTdalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait