Pelanggaran Perjanjian LPDP yang Berujung Sanksi bagi Veronica Koman
Utama

Pelanggaran Perjanjian LPDP yang Berujung Sanksi bagi Veronica Koman

Veronica Koman Liau diminta mengembalikan dana beasiswa senilai Rp773.876.918,-. Hal ini berlaku kepada seluruh alumni LPDP yang tidak kembali dan berkontribusi kepada Negara.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian Keuangan. Foto: RES
Gedung Kementerian Keuangan. Foto: RES

Nama Veronica Koman Liau (VKL) pernah viral pada Agustus 2019 lalu saat insiden Asrama Mahasiswa Papua, di Surabaya pecah. Kala itu, VKL pulang ke Indonesia dari Australia untuk mendampingi mahasiswa Papua di Surabaya terkait ujaran rasisme. VKL bahkan ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan provokasi dan menyebarkan berita hoaks.

Dara kelahiran Medan, Sumatera Utara ini memang vokal terhadap isu-isu HAM dan Papua. Bahkan, ia pernah tercatat sebagai pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Setelah cukup lama tenggelam, nama VKL kembali ramai diperbincangkan setelah pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta VKL mengembalikan dana beasiswa yang ia terima.

Sanksi tersebut dijatuhkan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai pihak yang menaungi kegiatan beasiswa dari negara karena VKL dinilai tidak menjalankan komitmennya saat meneken perjanjian beasiswa LPDP.

Dalam pernyataan tertulis, LPDP menjelaskan bahwa setiap penerima beasiswa LPDP yang telah menyelesaikan studi diwajibkan untuk kembali serta berkontribusi di Indonesia sebagaimana tercantum pada pasal kewajiban kembali dan kontribusi untuk Indonesia pada kontrak perjanjian. Hal itu diperkuat dengan adanya surat pernyataan bersedia kembali ke Indonesia saat mendaftar. Apabila alumni tidak kembali ke Indonesia, terdapat sanksi berupa kewajiban pengembalian dana beasiswa.

“Terhadap penerima beasiswa LPDP yang tidak memenuhi kontrak dan kewajiban kembali ke Indonesia, LPDP melakukan serangkaian proses surat peringatan, pengenaan sanksi pengembalian dana studi dan penagihan. Hal ini berlaku kepada seluruh alumni, tidak terkecuali kepada alumni atas nama Veronica Koman Liau (VKL), yang tidak kembali ke Indonesia,” demikian bunyi pernyataan dari LPDP.

LPDP menerangkan VKL menginformasikan bahwa sempat kembali ke Indonesia di tahun 2018 untuk mendampingi aksi para mahasiswa Papua di Surabaya, namun kemudian kembali lagi ke Australia. Kembalinya VKL ke Indonesia pada 2018 adalah saat VKL belum lulus dari studinya sehingga kepulangan VKL ke Indonesia bukan dalam status yang bersangkutan\ sebagai alumni, namun sebagai awardee on going dan tidak dapat dianggap kembali ke Indonesia dalam konteks pemenuhan kewajiban alumni. (Baca Juga: Bansos Rp600 Ribu untuk Pekerja Diharapkan Sentuh Sektor Informal)

Kemudian VKL lulus pada Juli 2019 dan baru melaporkan kelulusan pada aplikasi sistem monitoring dan evaluasi LPDP pada tanggal 23 September 2019 namun belum disampaikan secara lengkap. Sayangnya, setelah menjadi alumni, VKL tidak memenuhi kewajibannya kembali dan berkarya di Indonesia. Maka terhadap hal ini LPDP melakukan proses pemberian peringatan sampai dengan penagihan.

Pada tanggal 24 Oktober 2019, LPDP menerbitkan Surat Keputusan Direktur Utama tentang Sanksi Pengembalian Dana Beasiswa LPDP sebesar Rp. 773.876.918,-. Kemudian pada tanggal 22 November 2019, telah diterbitkan Surat Penagihan Pertama kepada VKL. Dan respon dari VKL pada 15 Februari 2020 adalah dia mengajukan metode pengembalian dana beasiswa dengan cicilan 12 kali.

Cicilan pertama telah disampaikan ke kas negara pada April 2020 sebesar Rp64.500.000,00. Cicilan selanjutnya belum dibayarkan hingga diterbitkannya surat penagihan terakhir pada tanggal 15 Juli 2020. Jika belum dipenuhi VKL hingga batas waktu tertulis, maka penagihan selanjutnya diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Rupanya persoalan serupa tak hanya terjadi pada VKL. Berdasarkan laporan dari LPDP, hingga Agustus 2020 terdapat 24.926 total penerima beasiswa LPDP dan 11.519 diantaranya telah menjadi alumni. Dari data tersebut, teridentifikasi sejumlah 115 kasus alumni yang tidak kembali ke Indonesia dengan rincian sejumlah 60 kasus alumni telah diberi peringatan dan telah kembali serta melakukan pengabdian, sejumlah 51 kasus dalam proses pengenaan sanksi, sementara 4 kasus masuk dalam tahapan penagihan termasuk VKL.

LPDP menegaskan bahwa pengenaan sanksi terhadap penerima beasiswa LPDP yang tidak memenuhi kontrak dan tidak memenuhi kewajiban kembali dan berkontribusi di Indonesia, tidak ada kaitan dengan politik dan tidak terkait dengan pihak manapun.

Staf Khusus Kemenkeu, Yustinus Prastowo menambahkan bahwa sejauh ini LPDP hanya menegakkan aturan terkait kewajiban penerima beasiswa untuk kembali dan berkontribusi di Indonesia sesuai perjanjian. Jika tak kembali, timbul kewajiban mengembalikan dana beasiswa. Selain itu ada Surat Pernyataan bersedia kembali. “Ini soal komitmen ya,” kata Yustinus, Kamis (13/8).

Pengenaan sanksi ini, lanjut Yustinus, berlaku untuk semua mahasiswa penerima beasiswa LPDP. Bahkan hal ini normal dilakukan oleh Kemenkeu. “Ini hal yg normal dan sejak dulu aturan juga demikian. Saya jadi ingat kawan baik saya tahun 1990-an dikejar-kejar petugas karena belum melunasi, seperti VKL,” tambahnya.

Yustinus berharap persoalan yang terjadi antara VKL dan LPDP tidak dibawa ke ranah politik. Pasalnya, pengenaan sanksi tidak hanya berlaku kepada VKL, tapi ada puluhan kasus yang sama dan saat ini tengah diselesaikan oleh LPDP.

“Lalu, benarkah LPDP dijadikan alat politik? Ada 115 kasus alumni tak kembali, 60 sdh diberi peringatan dan memilih kembali. Sisanya, 51 kasus dalam proses pengenaan sanksi, sementara 4 kasus masuk tahapan penagihan, termasuk VKL. Ini tak ada kaitan dengan politik dan tak perlu dikaitkan dengan pihak manapun. Ini soal komitmen, maka penuhi saja, tanpa perlu playing victim,” tegasnya.

Pembelaan Veronica

Di dalam suratnya yang diunggah ke media sosial, Veronica menanggapi sanksi tersebut. Menurutnya, hal itu sebagai upaya terbaru untuk menekan dirinya berhenti melakukan advokasi hak asasi manusia (HAM) Papua.

“Setelah mengkriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan ‘red notice’, dan mengancam untuk membatalkan paspor saya, kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918,” tulis Veronica.

Menurutnya, permintaan oleh LPDP di bawah Kemenkeu tersebut dibuat berdasarkan klaim bahwa dirinya tidak mematuhi ketentuan harus kembali ke Indonesia setelah usai masa studi. “Kenyataannya, saya kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan program ​Master of Laws ​di ​Australian National University​,” kata Veronica.

Sejak Oktober 2018 di Indonesia, lanjut Veronica, dia melanjutkan dedikasinya untuk advokasi HAM, termasuk dengan mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura.

“Saya ke Swiss untuk melakukan advokasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya. Saya memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019,” ujarnya.

Kemudian, Veronica berkunjung ke Australia dengan menggunakan visa tiga bulan untuk menghadiri wisuda yang diselenggarakan pada Juli 2019. Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, dia mengaku dipanggil oleh kepolisian Indonesia dan berikutnya ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019.

“Pada masa Agustus-September 2019 ini, saya tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat oleh aparat ketika internet dimatikan di Papua, yakni dengan tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri,” ucap Veronica.

Dia mngaku bukan hanya ancaman mati dan diperkosa yang kerap diterimanya, namun juga menjadi sasaran misinformasi online yang belakangan ditemukan oleh investigasi Reuters sebagai dibekingi dan dibiayai oleh TNI.

Menurutnya, Kemenkeu telah mengabaikan fakta bahwa dirinya telah langsung kembali ke Indonesia usai masa studi dan mengabaikan pula fakta bahwa dirina telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatannya.

“Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait