Payung Hukum dan Anggaran Tiga ‘Kartu Sakti’ Mulai Dipersoalkan
Berita

Payung Hukum dan Anggaran Tiga ‘Kartu Sakti’ Mulai Dipersoalkan

Program pemerintah yang berkaitan dengan rakyat sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu dengan DPR.

RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi (batik) saat peluncuran KKS, KIS, dan KIP, di Kantor Pos Besar, Jakarta, Senin (3/11). Foto: www.setkab.go.id
Presiden Jokowi (batik) saat peluncuran KKS, KIS, dan KIP, di Kantor Pos Besar, Jakarta, Senin (3/11). Foto: www.setkab.go.id
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meluncurkan tiga ‘kartu sakti’, dengan harapan dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga kartu itu adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Namun, DPR meminta pemerintah untuk menjelaskan soal dana atau anggaran yang digunakan untuk membiayai program tersebut.

“Itu juga (harus jelaskan) kartu itu mesti tender. Kartu yang dipakai itu bisa lima ribu per satu kartu. Kalau lima ribu rupiah kali lima belas juta, sudah berapa coba. Berapa triliun cuma kartu doang. Yang di atas satu miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Ini tidak main-main,” ujar Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah di Gedung DPR, Rabu (5/11).

Fahri memahami itikad baik pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, penggunaan anggaran sejatinya mesti sesuai prosedur dan legal. Kendati demikian, Fahri menampik tindakan pemerintah ilegal. Hanya saja, ia khawatir itikad baik pemerintahan Jokowi justru disalahartikan.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mencontohkan kasus dana talangan Century. Menurutnya, pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu menyatakan beritikad baik menyelamatkan kondisi negara dari krisis ekonomi global. “Tapi akhirnya apa?, orang masuk bui kok. Jadi itikad baik tidak satu-satunya, tetapi legal prosedural harus dipenuhi,” ujarnya.

Lebih lanjut ia berpandangan, pemerintah dalam meluncurkan ‘kartu sakti’ semestinya berkoordinasi dengan DPR. Bukan saja membahas target dan capaian program pemerintah, tetapi terkait anggaran dana yang membutuhkan dana triliunan rupiah. Pasalnya, anggaran dana tersebut dimungkinkan masih menggunakan APBN 2014 di pemerintahan SBY. 

“Itulah yang kita takutkan, kalau tidak ngajak dewan, bisa gak legal,” katanya

Anggota DPR Supriyatno menambahkan, pemerintah mesti menjelaskan asal anggaran dana yang digunakan pemerintah. Pasalnya, anggaran kesehatan masyarakat sudah diakomodir melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Apalagi, penyelenggaraan jaminan kesehatan melalui BPJS telah terdapat payum hukum.

“KIS belum ada payung hukumnya, kita harus pertanyakan nanti anggarannya dari mana, karena belum dibahas dengan DPR,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu mengatakan APBN 2014 telah ditetapkan. Begitu pula dengan APBN 2015. Hanya saja ABPN-P 2015 belum diserahkan oleh pemerintah. Sekalipun dilakukan perubahan APBN 2015, itu dilakukan setelah melewati tahun 2014. Ia menduga penggunaan anggaran kartu sakti masih menggunakan APBN 2014.

“Kita akan pertanyakan program pemerintah itu anggarannya dari mana, jangan sampai menyalahi aturan. Kesemuanya (KIS, KIP, dan KKS) ini membutuhkan pendanaan yang cukup besar,” katanya.

Lebih jauh ia berpandangan, program pemerintah yang berkaitan dengan rakyat mesti dibicarakan terlebih dahulu dengan DPR. Pasalnya penggunaan anggaran dana menggunakan uang rakyat. Selain DPR, pemerintah perlu mengajak seluruh pemangku kepentingan. Misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSI).

Anggota Komisi IX Budi Supriyanto menambahkan, selain anggaran, program KIS dan BPJS diharapkan tidak tumpang tindih. Menurutnya, KIS sama halnya dengan BPJS kesehatan. Ia mengatakan, penerapan BPJS masih jauh dari harapan mencapai sasaran. Itu sebabnya, BPJS perlu dievaluasi dari data statistik kependudukan agar tepat sasaran.

Politisi Golkar itu mengatakan, BPJS beroperasi sesuai dengan perundangan yang berlaku. Bila ada perubahan dari BPJS menjadi KIS maka diperlukan regulasi. Soalnya, kata Budi, program BPJS menggarkan dana Rp19 triliun yang diperuntukan 86 juta jiwa yang tidak mampu.

“Jangan menjadi tumpah tindih, jangan-jangan yang sudah BPJS tiba-tiba dapat lagi KIS,” pungkasnya.

Miliki Dasar Hukum
Pernyataan anggota dewan sampai ke telinga pemeintah. Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri, Kartu Indonesia Sehat (KIS) memiliki dasar hukum sehingga dapat diterapkan di seluruh Indonesia.

"Ada undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, yaitu UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS," kata Usman.

Menurut dia, program KIS terpayungi UU BPJS. "Jadi ada UU BPJS yang mengamantkan agar ada badan yang menyelenggarakan jaminan kesehatan. UU ini mengamanatakan satu hal bahwa masyarakat Indonesia yang tidak mampu itu ditanggung oleh negara."

"Sekarang, bedanya apa KIS sama PBI (Penerima Bantuan Iuran). UU BPJS ini mengamanatkan dua hal itu, begitu juga dengan KIS dan JKS (Jaminan Kesehatan Nasional)," tambahnya.

Selain itu, masih kata Usman, terdapat pijakan hukum KIS dari UUD 1945, yakni Pasal 34 ayat 5 yang berbunyi fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

"Jadi kalau ini dasarnya sama, semua JKN ini akan jadi KIS. Filosofinya, program ini menganut UU yang sama, konstitusi UUD 1945. Pendek kata, program Jamkesmas, JKN, dan KIS itu itu baik-baik saja (tidak menyalahi perundang-undangan)," kata dia.

Senada, Menkes Nila Moeloek mengatakan KIS tidak mengubah fungsi kartu lain seperti Askes, Jamkesmas dan BPJS Kesehatan. Dia menegaskan, KIS memberi tambahan manfaat dari program sebelumnya.

"KIS memberikan tambahan manfaat, layanan preventif, promotif dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan program ‘kartu sakti’ yang baru saja diluncurkan pemerintah belum memiliki payung hukum. "Sedang dalam proses. Yang pasti semua prosedur dan mekanisme sudah kita lakukan," kata Puan.

Lebih lanjut, putri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati itu mengatakan payung hukum untuk KIS, KIP dan KKS dapat berbentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres).
Tags:

Berita Terkait