Pandangan Ahli Soal Pengujian Formil di Sidang Uji UU Minerba
Terbaru

Pandangan Ahli Soal Pengujian Formil di Sidang Uji UU Minerba

Seharusnya pemeriksaan pengujian formil dan materiil sebuah UU seharusnya dipisah; menerapkan pembuktian terbalik; dan melandaskan prinsip-prinsip yang terangkum dalam rule of ethic.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES

Demi kepastian hukum sebuah undang-undang (UU) seharusnya perlu diketahui lebih cepat statusnya dibuat dengan sah atau tidak. Sebab, pengujian secara formil sebuah UU akan menyebabkan UU batal sejak awal. Dengan demikian, seharusnya pemeriksaan pengujian formil dan materiil sebuah UU seharusnya dipisah.

Pandangan itu disampaikan Aan Eko Widiarto selaku Ahli yang dihadirkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lain selaku Pemohon perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020. Sidang pengujian UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ini digelar Selasa (25/5/2021) kemarin untuk tiga perkara pengujian UU Minerba.

Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menilai pengujian formil seharusnya didahulukan daripada pengujian materiil apabila suatu undang-undang dimohonkan secara bersamaan. "Penalaran (argumentasi, red) hukum pengujian materil atas suatu norma undang-undang akan sia-sia apabila ternyata Mahkamah menyatakan validitas undang-undang tersebut tidak ada karena tidak memenuhi prosedur pembentukan undang-undang," kata Aan dalam persidangan yang dikutip dari laman MK.  

Bagi Aan, bila pengujian formil dan materiil secara bersamaan dapat menjadi isyarat, Mahkamah sudah tidak akan mengabulkan permohonan pengujian formil karena undang-undang sudah dianggap memenuhi prosedur pembentukan. (Baca Juga: Dinilai Cacat Formil, MK Diminta Batalkan Perubahan UU Minerba)

Menurut Aan, dalam pengujian formil suatu undang-undanhg seharusnya diterapkan pembuktian terbalik. Sebab, pengujian formil merupakan kasus konkret, sehingga pembuktiannya lebih pada fakta dan data yang berbentuk dokumen konkret. Bagi masyarakat, dalam pembentukan undang-undang akan mengalami kesulitan untuk membuktikan keberadaan dan kebenaran fakta dan data konkretnya.

Karena itu, jika tidak dilakukan pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, maka segala bukti permohonan proses pembentukan undang-undang, khususnya undang-undang perubahan UU Minerba ini harus disampaikan sendiri oleh Pemerintah, DPR, dan DPD dalam pemberian keterangan sebagaimana diatur Pasal 54 UU MK. "Menurut hemat Ahli, kata 'dapat' dalam Pasal 54 UU MK dalam konteks pengujian formil seharusnya dimaknai perintah, obligatif, bukan fakultatif," kata Aan.

Benediktus Hestu Cipto Handoyo selaku Ahli Hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam keterangannya yang juga dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ini berpendapat prosedur dan proses pembentukan undang-undang tidak semata-mata berpedoman pada prinsip rule of law, kesesuaian isi dan bentuk, kesesuaian dengan prosedur yang telah ditentukan. Akan tetapi juga harus melandaskan pada prinsip-prinsip yang terangkum dalam rule of ethic.

"Ketika pembentuk undang-undang mengabaikan rule of ethic pembentukan undang-undang tersebut, jelaslah hal demikian bertentangan dengan konstitusi. Karena sejatinya konstitusi itu tidak lain wujud filosofisnya memuat etika kehidupan berorganisasi suatu kekuasaan, yang dituangkan dalam norma-norma hukum, pembagian pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas," kata Benediktus.

Oleh karenanya, sambung Benekditus, cara campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat  melalui proses pembentukan UU yang tidak semata-mata melandaskan pada prinsip rule of law, tetapi juga perlu adanya prinsip rule of ethic.

Untuk diketehui perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan UU Minerba yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba juga tidak melibatkan DPD. Padahal sesuai konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

Sementara itu, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut Pemohon, substansi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.

Berikutnya permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.

Tags:

Berita Terkait