Otonomi Khusus dan Efektivitas Pendekatan Pemerintah bagi Perdamaian Papua
Kolom

Otonomi Khusus dan Efektivitas Pendekatan Pemerintah bagi Perdamaian Papua

Patut ditunggu apakah kekerasan pasca Revisi UU Otsus Papua dapat diredam dengan pendekatan kesejahteraan.

Bacaan 4 Menit

Langkah penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah melalui pendekatan regulasi seperti pemberian otonomi hendaknya dilakukan melalui dialog yang menyeluruh kepada semua pihak di wilayah konflik. Hal ini tercermin dari pendekatan diagonal dalam menangani konflik di Aceh yang didahului oleh proses negosiasi antara pemerintah dengan Geraka Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan MoU Helsinki.

Sebagai tindak lanjutnya, baru kemudian pemerintah dan DPR mengesahkan UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Lima belas tahun pasca negosiasi perdamaian dan peraturan tersebut, Aceh kemudian dapat menjadi wilayah yang damai dan melaksanakan otonomi yang diberikan.

Pengalaman pada penyelesaian konflik di Maluku juga didahului dengan Perjanjian Malino (Maluku) yang meredam situasi konflik horizontal yang terjadi di Poso. Satu tahun berselang, Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 38 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional Untuk Konflik Maluku. Hal tersebut juga merupakan tindak lanjut dari perjanjian Malino yang telah diselenggarakan antara pemerintah dengan pihak-pihak yang berkonflik di wilayah Maluku untuk segera mengusut terkait hubungan atau keterkaitan berbagai peristiwa dan isu yang diduga menjadi penyebab kerusuhan seperti isu Republik Maluku Selatan, Laskar Kristus, Forum Kedaulatan Maluku, dan Laskar Jihad.

Dari pengalaman kedua situasi konflik tersebut, hendaknya pemerintah memahami pola dalam penyelesaian konflik tidak lagi secara dominan melakukan pendekatan keamanan dan vertikal sebagai langkah penyelesaian konflik. Pemerintah seharusnya merangkul seluruh pihak tanpa terkecuali dalam menentukan arah Papua damai di masa depan melalui pendekatan dialog.

Permasalahan terbesar dalam proses perdamaian menurut Johan Galtung adalah seringkali resolusi konflik yang menjadi tujuan adalah sebuah konsep yang tidak realistis. Solusi konflik hendaknya berasal dari kesepakatan atau perjanjian melalui hasil negosiasi dan kemudian diratifikasi oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, resolusi konflik merupakan pemikiran dari pihak yang berkonflik atau para aktor dalam konflik tersebut. Apabila dilakukan terlalu elisitis, aktor dalam kesepakatan tersebut dapat tidak mengakui resolusi konflik yang dilakukan dan akan muncul aktor lain yang menggangap dirinya tidak lagi terikat dengan resolusi konflik yang ditawarkan.

Dalam hal penanganan konflik di Papua, hendaknya pemerintah turut mengundang semua pihak termasuk kelompok bersenjata untuk berdialog. Hal tersebut memang mengandung risiko keamanan tinggi yang harus diredam baik di dalam negosiasi maupun situasi secara umum karena mengingat aksi teror yang selama ini dilakukan. Selain itu, tujuan merdeka dari kelompok bersenjata tersebut juga menjadi tantangan tersendiri yang harus diselesaikan melalui langkah negosiasi. Berada dalam negosiasi bukan berarti pemerintah tidak memiliki pendirian yang jelas dalam penanganan konflik.

Negosasi dengan pihak bersenjata dengan tujuan merdeka bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Saat negosiasi Helsinki berlangsung, pihak Indonesia secara tegas menolak segala bentuk pelepasan wilayah Aceh dari NKRI. Hal tersebut menjadi acuan pemerintah dalam melaksanakan perjanjian dan mediator saat itu, Martti Ahtisaari yang juga merupakan mantan Presiden Finlandia memfasilitasi keinginan GAM untuk membangun Aceh sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tetap berkomitmen dalam pangkuan NKRI melalui Otonomi Khusus. Dari buah buah pikiran dan hasil negosiasi tersebut akhirnya melahirkan UU Pemerintah Aceh saat ini.

Berkaca dari pengalaman tersebut, Revisi UU Otsus Papua seharusnya dapat menjadi tonggak perdamaian di Papua sebagaimana otonomi yang menjadi awal perdamaian di Aceh. Patut ditunggu apakah kekerasan pasca Revisi UU Otsus Papua dapat diredam dengan pendekatan kesejahteraan. Apabila kelompok bersenjata masih melancarkan teror dengan adanya Revisi UU Otsus Papua, maka hendaknya pemerintah mengambil pendekatan lain dengan membuka ruang dialog lebih luas dan menyeluruh dalam penyelesaian konflik di Papua dan akhirnya baru menjadikan status otonomi yang diberikan sebagai alat perdamaian di Papua.

*)Rico Novianto S.H., Peneliti Pusat Studi HTN FHUI dan M.A. Candidate pada University Prince of Songkla Thailand.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait