Nicholas Charles Parsons: Disabilitas Bukan Penghalang Belajar Hukum Indonesia
Profil

Nicholas Charles Parsons: Disabilitas Bukan Penghalang Belajar Hukum Indonesia

Sederet prestasinya membuktikan, masalah penglihatan tak menghalangi Nicholas Charles Parsons untuk belajar tentang banyak hal, termasuk belajar hukum Indonesia.

M-10
Bacaan 2 Menit

Konsultan untuk hukum Indonesia
Nick sejatinya adalah seorang mahasiswa Australia’s National University angkatan 2006. Ia mengambil dua bidang studi yang terpisah, hukum dan Asian studies kekhususan Indonesia. Berkaitan dengan studinya mengenai Indonesia, pada tahun 2007 ia mengambil kuliah hukum di Universitas Gadjah Mada. Kuliahnya di sana mengantarkan Nick menjadi  asisten Tim Lindsey, seorang Indonesianis bidang hukum asal Negeri Kangguru. 

Nick bercerita sewaktu mengambil mata kuliah hukum tata negara, ia diminta membuat tugas. Namun ia kesulitan mendapatkan bahan-bahan. Di Australia, ia dengan mudah mendapatkan informasi hukum melalui internet, buku elektronik pun banyak tersedia. Karena itu, ia jadi ingat Tim Lindsey, akademisi yang banyak menulis buku tentang hukum Indonesia. Komunikasi dengan Tim Lindsey akhirnya mengantarkan Nick dekat dengan sang akademisi. Setelah tahun 2008 ia memenangi lomba pidato antarbangsa berbahas Melayu memperebutkan piala Perdana Menteri Malaysia, Nick ditawari menjadi asisten peneliti Tim Lindsey. “Dia tawari saya jadi asistennya,” ucap Nick rendah hati. 

Tahun 2011, Nick mendaftarkan diri untuk meraih beasiswa agar bisa belajar hukum Indonesia. Ada banyak alasan Nick ingin belajar hukum Indonesia. Tetapi terutama karena keinginannya yang besar untuk bekerja berkaitan dengan hukum Indonesia. Bisa sebagai konsultan di lembaga-lembaga internasional, atau menjadi akademisi.  

“Saya juga ingin sekali menjadi penasehat-penasehat hukum atau pengacara mungkin di Australia. Saya akan cari cara bagaimana bisa jadi pengacara dalam kaitan hukum Indonesia. Mungkin bisa menasehati orang Australia yang ada masalah di Indonesia, terutama untuk masalah HAM”. 

Jatuh cinta dengan Indonesia
Alasan Nick untuk mengambil kekhususan Indonesia dalam program studinya dan ikut berkompetisi meraih beasiswa Prime Minister’s Australia Asia Award agar bisa belajar di Indonesia adalah karena ia telah jatuh cinta dengan Indonesia. Menurut bule yang sangat mahir berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia itu, Indonesia adalah negeri yang memiliki kekayaan budaya dan keindahan bahasa yang luar biasa. Banyak hal yang menjadi pelajaran baru baginya ketika tinggal di Indonesia. 

“Sebenarnya, pertama kali ke Indonesia saya belum tertarik. Waktu itu saya berlibur dengan keluarga ke Bali dan Yogyakarta. Begitu saya belajar bahasa Indonesia di SMP dan SMA barulah mulai tertarik mempelajari budaya-budaya Indonesia. Di SMA kelas saya juga ada native speaker orang Indonesia. Saya pun kenalan dan belajar bahasa gaul dengan mereka. Mereka baik, ramah, asyik diajak ngobrol,” tuturnya. 

Ketertarikannya dengan Indonesia saat belajar Bahasa Indonesia di SMP boleh jadi kebetulan saja. SMP tempatnya bersekolah mewajibkan siswa untuk mengambil pelajaran bahasa asing, terserah bahasa apa saja sesuai yang ditawarkan. Awalnya ia mendaftar di kelas bahasa Jepang, tetapi ia menarik pilihan  ini karena “gurunya kurang asyik”. Walhasil ia mengambil kelas bahasa Indonesia. Selama empat tahun belajar Bahasa Indonesia, ia mengaku jatuh cinta. “Sekarang saya jatuh cinta dengan Indonesia,” katanya sambil tersenyum lebar. 

Dengan kemampuan Bahasa Indonesia, Nick bertekad menyelesaikan kuliah hukumnya tepat waktu agar keinginannya tercapai. Siapa tahu Nick akan menjadi Indonesianis bidang hukum.

Tags: