Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.

Bacaan 2 Menit
Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada
Hukumonline

Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan formulasi jelas tentang demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah, yakni dilaksanakan secara langsung. Periode pertama pelaksanaan Pemilukada berlangsung sejak Desember 2004 sampai dengan September 2008 dengan total pelaksanaan kurang lebih 343 Pemilukada dengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kota dan 7 provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 kabupaten/kota dan 7 provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35 kabupaten/kota dan 6 provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah berlangsung Pilkada di 11 kab/kota (Data Jaringan Pendidikan pemilih untuk rakyat-JPPR). Untuk Pemilukada pada 2010 ini, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan digelar sebanyak 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mulai dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota serta wakil walikota.

 

Menjelang pelaksanaan periode Pemilukada periode kedua, tahun 2010 ini, banyak pihak yang mendorong agar pelaksanaan Pemilukada ditunda sambil menunggu hasil evaluasi pelaksanaaan pilkada 2005 oleh Depdagri dan KPU. Evaluasi Pemilukada 2005-2008 sangat penting untuk mendapatkan rekomendasi serta refleksi atas kekurangan dan kelemahan yang berlangsung selama periode tersebut.

 

Ada beberapa cacatatan penting dan fundamental yang mengiringi pelaksanaan pilkada 2005-2008. Pertama, Pemilukada masih belum mampu menghadirkan ruang bagi rakyat untuk mandiri dan memiliki kapasitas yang rasional dalam menentukan pilihannya. Fenomena politik uang selama pilkada mempertegas catatan ini.  Kedua, proses  pelaksanaan pemilukada belum mampu dikelola secara  baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul, kampanye yang penuh konflik dan protes atas hasil penghitungan suara menjadi contoh yang sangat jelas. Ketiga, pilkada belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas memadai. Pemilukada justru menjadi arena bagi orang-orang yang punya duit dan populer untuk menjadi elit baru. Keempat, kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk pemerintahan bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selama ini sudah banyak keluhan dari masyarakat terkait pemilukada yang berlangsung tapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahtaraan rakyat.

 

Beberapa Persoalan

Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua poin evaluasi pemilukada tersebut. Yang menarik dibahas adalah salah satu  faktor lemahnya pengelolaan pelaksanaan pemilukada selama ini adalah karena kegagalan institusionalisasi hukum dalam proses penyelenggaraan pilkada. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik berkepanjangan.

 

Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini. Pertama, masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kekecewaan publik terhadap proses penyelengaraan pemilu belum mampu terlembagakan dalam proses hukum. Sebaliknya yang muncul adalah kekecewaan yang berujung pada anarkisme dan kekerasan massa.  Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu, tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran.

 

Dalam konteks Pilkada, UU. 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4), menggarisbawahi Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.

Tags: