Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan
Kolom

Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan

Di antara semua produk hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU AP merupakan instrumen paling strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan birokrasi.

Bacaan 2 Menit

Urgensi percepatan pengesahan.

Patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa birokrasi di sektor publik merupakan kekuatan yang besar sekali. Rentang kegiatannya menyentuh dan mempengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejalan dengan itu, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan berdampak luas pada nasib rakyat maupun tujuan bernegara itu sendiri. Pada titik ini, korupsi masih menjadi momok yang mengganggu kualitas birokrasi di segala sektor publik. Bahkan, separuh dari jumlah kepala Daerah dikabarkan tersangkut kasus korupsi atau setidaknya telah dijatuhi hukuman pidana. Angka tersebut tentu sangat mencolok dan memprihatinkan, apalagi di balik angka tersebut dapat diduga tabir gelap lain (the truth behind the cover-up), ibarat fenomena gunung es: korupsi yang tergolong perbuatan mal-administrasi cenderung lebih banyak yang tertutupi, dapat dirasakan tapi sulit dibuktikan.

Dalam konteks instrumen hukum tentang pencegahan tipikor maupun aneka macam penyimpangan hukum lain yang terkait, tentu bukanlah tugas hukum pidana semata, tetapi juga didalamnya terdapat aspek penting dari hukum administrasi yang berkaitan dengan proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik pada umumnya. Di sisi lain, polemik akademis atau judisial seputar titik singgung antara hukum administrasi dan pidana dalam soal pemberantasan korupsi diharapkan mampu semakin dikelola lebih konstruktif pasca pengesahan RUU ini nanti. Dalam bahasa yang paling sederhana, kelak keberadaan UU AP akan mengisi fungsi preventif dari pencegahan korupsi yang menjadi domain hukum administrasi, melengkapi pendekatan pidana yang bersifat represif.

Pada saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di UI, pakar hukum Administrasi, Prof Safri Nugraha menyatakan bahwa selama ini para pejabat dan petugas administrasi negara di Indonesia lebih banyak menjalankan tugasnya pada kebiasaan-kebiasaan dan bukan pada hukum positif yang mengatur administrasi negara. Adalah suatu ironi, bahkan absurditas, apabila di sebuah negara hukum praktik administrasi negara justru didasarkan pada dominasi kebiasaan (bussiness as usual). Karena dalam praktik administrasi semacam itu akan tumbuh subur bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal, yang sangat rawan penyimpangan, penyalahgunaan jabatan serta beragam perbuatan tercela lain atau mal administrasi.

Untuk itulah diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas yang mengatur bagaimana para aparatur negara/pemerintah bertindak, sebagaimana diupayakan oleh materi RUU-AP ini, agar terbangun prinsip legal rational impersonal, sehingga setiap interaksi dan persoalan di kantor/kedinasan diselesaikan menurut hukum yang didesain khusus untuk itu, sebagaimana ciri birokrasi ala Weber di negara-negara maju, dimana tata birokratisasi merupakan proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Pada posisi itu pula peran dan kontribusi peradilan tata usaha negara (administrative court) sangat strategis dan signifikan, baik sebagai jembatan hukum antara pemerintah (administration) dengan warga masyarakat (citizen) maupun sebagai the guardian of the rule of law and good governance. 

Dalam rangka pembenahan administrasi sektor publik itulah, sedari awal para pihak yang concern dan terlibat dalam penggodokan RUU-AP, sudah merekomendasikan perlunya RUU-AP disahkan sebagai hukum materiil, dan menjadi kesatuan sistem dengan perubahan UU. PERATUN. Sayang, rekomendasi tersebut sampai sekarang belum terwujud, masih menunggu komitmen dan konsistensi politik hukum para pembuat undang-undang.

Memang, perjalanan masih jauh untuk ditempuh, semoga tidak serasa menunggu Godot dalam lakon drama Samuel Beckket yang termasyhur itu, karena jika demikian, maka dalil Montesquieu akan menjadi kenyataan: “Useless laws weaken necessary laws”.

 

*Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Palu, Sulawesi Tengah

(Pendapat pribadi)

Tags: