Menjelang “Detik-detik” Pemecatan 56 Pegawai KPK
Utama

Menjelang “Detik-detik” Pemecatan 56 Pegawai KPK

Respons presiden terhadap penghentian pegawai KPK dinilai contoh yang buruk.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Penggiat anti-korupsi, Dadang Trisasongko, mengatakan terjadi ketidakpercayaan publik terhadap komitmen Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi. Dia mengatakan rencana pelemahan KPK melalui RUU sebenarnya sudah terjadi sejak periode pertama pemerintahan Jokowi.

Namun, saat itu masih terdapat perlawanan khususnya dari oposisi politik. Sedangkan, RUU tersebut berhasil pada 2019 karena konsolidasi politik. “Ketika Jokowi bilang tidak ada beban lagi masuk periode kedua, statement tersebut diarahkan kepada siapa? Jangan-jangan tidak ada beban lagi itu ranah politik yang ingin melemahkan KPK,” jelas Dadang.

Terdapat dewan pengawas KPK juga menurunkan kepercayaan publik karena dianggap menghambat pemberantasan korupsi. Selain itu, kemunculan dewas KPK juga menimbulkan konflik internal. “KPK setelah revisi ini seolah-olah ada konflik di dalam. Saya kira ini bukan hanya internal saja tapi problem dengan pihak-pihak yang berlawanan arah dengan pemberantasan korupsi,” jelas Dadang.

Sehubungan dengan peralihan status KPK menjadi bagian eksekutif menjadi ironi bagi Dadang. Dia menyampaikan kasus-kasus korupsi berada di bagian kekuasaan. Harusnya KPK memiliki jarak dengan kekuasaan. “Kalau KPK tidak independen bahaya, karena jadi kekuatan politik bagi yang berkuasa. UU ini akan ada terus dan bisa jadi senjata makan tuan juga kalau penguasa berikutnya pihak-pihak yang bersebrangan,” jelas Dadang.

Dia juga mengatakan harapan tipis terhadap Jokowi untuk membantu pegawai KPK yang terancam dipecat tersebut. “Jadi catatan sejarah pada pemerintahan Jokowi selama periode kedua ini KPK benar-benar dilemahkan,” tegas Dadang.

Tokoh publik, Azyumardi Azra, mengatakan pemecatan pegawai KPK dengan alasan TWK merupakan gejala dari pelemahan KPK. Menurutnya, respons Presiden terhadap penghentian pegawai KPK ini merupakan contoh buruk.

“Kalau ada statement Jokowi bilang jangan jadikan TWK satu-satunya alasan penghentian pegawai itu hanya lipservice saja. Lalu dia juga bilang “kok sedikit-sedikit ke saya lagi” jadi siapa dong yang menyelesaikan kalau bukan pimpinan? Dia itu kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden diam saja,” jelas Azyumardi.

Peneliti Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, menyampaikan terjadi ketidakpuasan publik terhadap pelaksanaan demokrasi dan terjadi penurunan indeks demokrasi. Dia menilai hal ini patut menjadi perhatian karena penurunan diikuti pula dengan turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi lembaga yang diandalkan publik untuk penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.  

“Setiap survei kami selalu tanyakan mengenai kepercayaan pada lembaga negara. Dalam lima tahun terakhir hampir selalu TNI, Presiden dan KPK berada pada tiga teratas. Namun, dalam survei September 2021 terjadi pergesaran di mana tren kepercayaan terhadap Polri melampaui KPK. Jadi TNI, Presiden dan Polri,” jelas Kennedy.

Berdasarkan survei tersebut, dia menyampaikan terjadi penurunan kepercayaan publik terhadap KPK. Salah satu penyebab penurunan kepercayaan tersebut yaitu keterpilihan Ketua KPK baru, kontroversi pengesahan Revisi Undang Undang KPK hingga polemik pelaksanaan TWK. “Sempat sepinya pemberitaan OTT KPK selama awal pandemi membuat kepercayaan publik terkikis,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait