Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara
Utama

Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara

Para Tergugat mempersoalkan kewenangan Pengadilan Negeri karena gugatan berkaitan dengan perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dianggap kewenangan PTUN.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit

Berbagai kelompok masyarakat sudah melakukan advokasi, tetapi hasilnya belum maksimal. Data dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) menunjukkan udara di Ibukota belum bersih sesuai standar WHO. Masalahnya, pencemaran udara Jakarta tidak semata bersumber dari Jakarta. Ada kontribusi dari daerah sekitarnya, misalnya pabrik dan pembangkit listrik tenaga uap. Itu sebabnya, kata Nur Hidayati, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten ikut digugat.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania, memaparkan polusi udara di Jakarta bersumber dari banyak hal. Misalnya, asap knalpot kendaraan, aktivitas konstruksi, pembakaran batu bara, debu jalan beraspal, aerosol sekunder, pembakaran terbuka biomassa dan bahan bakar, partikel tanah tersuspensi, dan garam laut.

Para Tergugat dan Turut Tergugat sebenarnya menampik semua tuduhan yang diajukan para penggugat. Presiden, misalnya, dalam jawabannya atas gugatan menyatakan revisi Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 dengan merujuk pada pedoman yang ditetapkan WHO tidak memungkinkan, karena pedoman WHO itu sulit diterapkan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. PP No. 41 Tahun 1999 mengatur tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam jawabannya ke pengadilan, Presiden menyatakan KLHK dan kementerian teknis lainnya sedang membahas revisi PP tersebut.

Adapun Tergugat II menyatakan telah memberikan bimbingan teknis pelaksanaan uji emisi kepada Tergugat V melalui program Adipura. Tergugat V mengklaim telah melakukan inventarisasi emisi di provinsi DKI Jakarta, dan telah melakukan sejumlah upaya –seperti pembatasan kendaraan bermotor pada jalur tertentu. Dari aspek kompetensi, para tergugat juga mengklaim bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan ini karena pada dasarnya yang dipersoalkan adalah dugaan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad), yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sekedar mengingatkan gugatan warga negara ini diajukan sehubungan dengan kualitas udara Jakarta yang dinilai para penggugat masih buruk. Gugatan dimasukkan pada 4 Juli 2019 setelah notifikasi yang disampaikan kepada tujuh pejabat tidak mendapat tanggapan. Sidang perdana berlangsung pada 1 Agustus 2019.

Dalam petitumnya, para penggugat meminta pengadilan mengesahkan gugatan menggunakan mekanisme CLS, dan memerintahkan Presiden dan para tergugat lain memperbaiki kualitas udara Jakarta melalui serangkauan kebijakan agar kualitas udara Ibukota sesuai dengan standar yang ditetap Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). Hampir dua tahun setelah pendaftaran gugatan itu, PN Jakarta Pusat belum membacakan putusan. Majelis hakim berjanji akan membacakan putusan pada 24 Juni mendatang.

Tags:

Berita Terkait