Meminta Pertanggungjawaban Presiden
Kolom

Meminta Pertanggungjawaban Presiden

Forum Curah Pendapat (FCP) yang diselenggarakan sejumlah anggota DPR beberapa waktu yang lalu telah menggulirkan isu penting dalam persoalan hukum tata negara Indonesia. Dua solusi yang dihasilkan oleh forum tersebut berujung pada diterbitkannya memorandum DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI) MPR.

Bacaan 2 Menit
Meminta Pertanggungjawaban Presiden
Hukumonline

Isu ini menjadi penting karena muncul di ujung perseteruan politik yang panjang antara elite politik yang ada di MPR dengan Presiden Gus Dur. Perseteruan ini sempat menghangat pada saat Sidang Tahunan (ST) MPR 2000 yang dilaksanakan pada Agustus lalu, dengan munculnya pendapat untuk melanjutkan Sidang Tahunan MPR menjadi Sidang Istimewa untuk menjatuhkan Presiden.

Keistimewaan Sidang Istimewa

Prosedur pelaksanaan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden dimuat dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar-Lembaga-Lembaga Tinggi Negara ("Tap. III/1978"). Di dalam Ketetapan MPR itu, disebutkan adanya dua macam pertanggungjawban presiden, yaitu pertanggungjawaban yang diberikan di hadapan Sidang Umum MPR pada akhir masa jabatan presiden dan tanggung jawab secara khusus yang diberikan di hadapan Sidang Istimewa MPR.

Sebenarnya, masih ada persoalan mendasar dalam ketentuan tersebut. Pertama, yaitu kenyataan bahwa UUD 1945 sendiri sebenarnya tidak mengatur secara eksplisit mengenai adanya prosedur pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Walau demikian, Penjelasan UUD 1945 memang memuat pernyataan bahwa "Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis." Prinsip inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan Tap. III/1978 tersebut. Sebagai perbandingan, dalam UUD RIS 1949 dan UUDS 1950 yang mengandung sistem pemerintahan parlementer, soal pertanggungjawaban presiden kepada lembaga legislatif dimuat dengan jelas.

Kedua, pada dasarnya sistem pertanggungjawaban eksekutif hanya dikenal dalam sistem parlementer atau sistem semi-parlementer, tidak dalam sistem presidensial. Sebab, orientasi utama sistem pemerintahan presidensial adalah membentuk pemerintahan yang stabil dalam waktu tertentu (fixed term of office). Di samping itu, sistem pemisahan kekuasaan secara tegas dalam tataran kelembagaan yang berusaha diterapkan oleh sistem presidensial berimplikasi pada tidak terjadinya peleburan antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Namun demikian, terlepas dari adanya persoalan-persoalan tersebut, kenyataan bahwa Tap. III/1978 telah memuat ketentuan tersebut menjadi suatu landasan legal-formal yang sah di bawah sistem ketatanegaraan kita sekarang. Bahkan karena adanya mekanisme pertanggungjawaban inilah, sebagian kalangan pakar Hukum Tata Negara menyebut sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 45 adalah sistem campuran atau apa yang disebut sistem quasi presidensial (Martosoewignyo, 1989: 16; Kusnardi dan Ibrahim, 1988: 180).

Keberadaan Sidang Istimewa juga tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun, Namun Tap. III/1978 menetapkan mengenai adanya Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden di tengah masa jabatannya.

Prosedur untuk melaksanakan SI adalah dengan adanya memorandum pertama dari DPR kepada presiden, yang kemudian dilanjutkan dengan memorandum kedua apabila dalam kurun waktu tiga bulan presiden dianggap masih belum mampu memperbaiki kinerjanya. Selanjutnya, apabila dalam waktu satu bulan setelah memorandum kedua diserahkan, presiden masih dianggap belum dapat memperbaiki kinerjanya, maka dapat dilaksanakan Sidang Istimewa MPR guna meminta presiden untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya di hadapan MPR.

Bukan impeachment

Model pertanggungjawaban yang dianut oleh Tap. III/1978 berbeda dengan mekanisme impeachment yang dikenal di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Philipina. Dua negara yang dapat dijadikan contoh karena baru saja  dan akan melaksanakan mekanisme ini di negaranya. Perbedaan mendasar antara mekanisme pertanggungjawaban presiden dalam Tap. III/1978 dengan impeachment kedua negara tersebut adalah dari segi substansinya. Kedua negara tersebut menerapkan sistem presidensil secara konsekuen, sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatannya, kecuali ia telah melanggar konstitusi dan hukum positif negara tersebut.

Kasus Presiden Estrada di Phlipina misalnya, yang berkaitan dengan indikasi adanya skandal suap judi illegal Jueteng. Tidak dapat dipungkiri bahwa impeachment terhadap presiden (ataupun pejabat negara lainnya) akan selalu bernuansa politis karena jabatan politis yang dipertaruhkan.

Pada dasarnya mekanisme impeachment merupakan suatu prosedur istimewa yang mengatasi stabilnya posisi presiden dalam sistem presidensial. Pasalnya, kepala pemerintahannya tidak dapat dijatuhkan dengan mosi tidak percaya parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Padahal dalam suatu negara hukum, setiap warga negara sama kedudukannya di muka hukum, tanpa adanya pengecualian; termasuk terhadap pejabat negara. Dengan adanya mekanisme ini, pejabat negara tidak menjadi "kebal hukum".

Sementara, secara konstitusional, Indonesia tidak mengenal adanya mekanisme impeachment sebagaimana kedua negara tersebut. UUD 1945 menganut prinsip bahwa presiden melaksanakan amanat rakyat melalui GBHN yang disusun oleh MPR, sehingga pertanggungjawaban presiden dinilai dari bagaimana ia melaksanakan amanat tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa MPR bukanlah seperti parlemen pada umumnya yang menjatuhkan pemimpin eksekutif hanya semata-mata karena hilangnya kepercayaan parlemen, melainkan mendasarkannya pada ada atau tidaknya kebijakan presiden yang bertentangan dengan GBHN atau apakah presiden nyata-nyata melanggar GBHN.

Sejarah pertanggungjawaban presiden di Indonesia

Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, mekanisme Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden atas dasar memorandum DPR, belum pernah dilaksanakan. Pertanggungjawaban presiden pertama kali terjadi pada tahun 1966. Pada  22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban yang disebut Nawaksara.

Dalam Sidang ini, MPRS sebenarnya tidak meminta pertanggungjawaban presiden Soekarno. Karena itu, Soekarno menyebut pidato pertanggungjawabannya itu sebagai pidato "pertanggungjawaban sukarela". Ia menyebut pidatonya sebagai "program report" , yaitu suatu kelaziman suatu negara bersistem "pemisahan kekuasaan" (Mulyosudarmo, 1997:9). Di masa pemerintahan berikutnya, pertanggungjawaban presiden berulang kali terjadi, tetapi sifatnya lebih mencerminkan sebuah laporan (report)  daripada sebuah pertanggungjawaban.

Sidang Istimewa 2001: Mungkinkah?

Pernyataan yang ditunggu-tunggu sekarang barangkali adalah: mungkinkan diadakan Sidang Istimewa 2001? Jawabannya akan lebih bergantung pada peta politik di "atas sana" , sebab secara yurisidis, hal tersebut memang dimungkinkan. FCP yang diikuti oleh banyak anggota DPR beberapa waktu lalu memang dapat dilihat sebagai upaya ke arah itu. Rekomendasi yang dihasilkan dapat saja diolah di masing-masing fraksi, untuk kemudian diajukan ke pleno DPR untuk mengarahkannya kepada pengiriman memorandum pertama DPR, yang kemudian bisa dilanjutkan ke proses berikutnya.

Akhirnya, proses ini memang lebih kental bernuansa politik. Apalagi ukurannya nanti adalah "pelanggaran terhadap GBHN", yang juga masih sangat terbuka untuk penafsiran-penafsiran. Berbeda halnya dengan kasus Presiden Joseph Estrada di Philipina, misalnya, yang lebih dapat diukur berdasarkan hukum positif yang berlaku, walaupun akan tetap diwarnai berbagai kepentingan politik.

Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat urgensi "pertarungan politik" itu dibandingkan dengan  banyaknya persoalan kebangsaan yang harus dihadapi saat ini juga. DPR memang harus dapat menjalankan fungsinya dalam mengontrol eksekutif untuk dapat menakhodai negara ini dengan baik, dengan berbagai wewenang yang dimilikinya. Namun tetap dengan mempertimbangkan pula segala aspek yang dapat ditimbulkan terhadap negara yang tengah berproses ini.

 

Bivitri Susanti adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

 

 

 

Tags: