Membangun Ruang Jaga Demokrasi dalam Intervensi Kebijakan Publik
Kolom

Membangun Ruang Jaga Demokrasi dalam Intervensi Kebijakan Publik

Jalan untuk meluaskan kembali ruang yang kini sempit itu adalah dengan bersama jaringan, baik dalam birokrasi maupun sesama organisasi masyarakat sipil, untuk menegaskan ulang akan komitmennya pada demokratisasi dan negara hukum.

Bacaan 2 Menit

Salah satu bentuk ciutnya ruang tersebut yang diperlihatkan secara telanjang adalah dengan melajunya agenda legislasi sebagaimana kita saksikan di periode akhir DPR 2014-2019. Bersatunya Pemerintah dan DPR melakukan revisi UU KPK padahal nyaris ditolak total oleh semua pemangku kepentingan menunjukkan pembentukan hukum kita seolah terjadi di ruang kedap suara tanpa partisipasi. Penolakan publik yang terbentang dari organisasi pembela lingkungan hingga ekonom merupakan momentum jelas bahwa sebetulnya negara tidak main-main dalam menepikan masyarakat dalam pengambilan kebijakannya.

Namun, ironisnya, dalam penyusunan atau implementasi berbagai kebijakan, negara tetap melibatkan organisasi masyarakat sipil karena kompetensinya dalam berbagai isu. Kita bisa melihat di satu sisi negara meminta masukan dari berbagai individu dan organisasi, mulai dari isu agraria, korupsi hingga draft RUU Omnibus Cipta Kerja. Namun dalam praktiknya kemudian negara seolah abai untuk menyasar dan menjawab berbagai aspek kebijakan yang coba dikritisi oleh individu dan organisasi tersebut.

Kehadiran atau keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam berbagai forum pembahasan  acapkali dikemas sebagai persetujuan terhadap rancangan kebijakan tertentu. Apapun narasi yang disampaikan elemen masyarakat sipil; kekuasaan telah mengemas interaksi tersebut sedemikian rupa sehingga unsur kritis yang seharusnya menjadi faktor penentu menjadi gagal hadir. Hal ini menjadi semakin parah ketika organisasi masyarakat sipil yang menjalankan mandatnya untuk mengambil posisi kritis akan kebijakan tertentu; dikemas sebagai lawan politik oleh operator sosial media pro-status quo yang dikenal dengan sebutan pendengung atau buzzer. Posisi kritis berbagai elemen masyarakat sipil diletakkan dalam pojok yang sama dengan lawan politik penguasa.

Dalam situasi seperti ini, ketika pelaksanaan mandat organisasi untuk mengintervensi kebijakan dan perluasan jaringan ditafsirkan secara politis, logika seperti apakah yang dibutuhkan? Inisiatif yang pernah dilakukan PSHK pada masa lalu dengan berjaringan berkoalisi untuk mengawal proses amandemen konstitusi sangat mungkin dimaknai secara politis sekarang. Menjadi mitra pembangunan lembaga luar negeri, meskipun untuk mendukung program pemerintah dengan membuat intervensi kebijakan, bukan tak mungkin dikemas sedemikian rupa seolah membawa agenda asing anti-nasionalis. Kemudian apabila bukan organisasinya yang diserang, individu kritis akan kebijakan Pemerintah rentan dikriminalisasi dan kemudian karakternya diserang sedemikian rupa oleh para operator tersebut via media sosial. Dalam ruang-ruang gelap penuh jebakan anti-demokrasi sekarang inilah, organisasi masyarakat sipil tetap berusaha menjalankan perannya berkontribusi dalam penyusunan kebijakan atau sebagai mitra kritis pemerintah.

Soedjatmoko dalam tulisannya yang berjudul Indonesia: Masalah dan Kesempatan dari pilihan tulisannya Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (LP3ES, 1984) sebetulnya telah mengingatkan hal ini. Meski tak secara spesifik menyebut organisasi masyarakat sipil, Soedjatmoko menyebutkan tentang “tukang jaga demokrasi” yang bertugas “meluruskan, menjernihkan masalah yang terlibat dalam pengambilan keputusan atau perkembangan yang membahayakan kondisi pertumbuhan demokratis”. Soedjatmoko sudah membayangkan adanya situasi anti demokrasi  ketika ia menulis kalimat tersebut di tahun 1967; saat Orde Baru baru saja lahir. Terutama sekali, menurut Soedjatmoko, tugas berat yang harus dilakukan adalah “mendesak mundur perbatasan kebebasan dan memupuk kemampuan untuk membela perkembangan yang telah didapat dengan susah-payah”.

Kalimat-kalimat Soedjatmoko yang telah ditulis berpuluh tahun lalu itu menyentak mengingatkan, bahwa mereka yang lahir karena proses demokratisasi haruslah menjadi garda terdepan mempertahankan nilai serta capaiannya. Perlu menjadi daftar periksa bagi setiap organisasi atau individu yang merasa menjadi bagian dari masyarakat sipil apakah pilihannya dalam bertindak menyikapi sebuah kebijakan konsisten dengan perannya sebagai “tukang jaga demokrasi”? Tentu hal ini tidak terbatas pada organisasi yang secara spesifik memangku “demokrasi’ sebagai ruang berkegiatan; namun lintas sektor dari mulai kemiskinan, lingkungan, ekonomi, pendidikan hingga gender. Hal ini menjadi penting karena kita melihat ruang-ruang intervensi kebijakan publik yang telah dirintis dan mulai membuahkan hasil pasca runtuhnya Orde Baru makin terlihat menyempit dan suram.

Perjalanan PSHK dalam melakukan intervensi kebijakan dan perluasan jaringan adalah bagian dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam 22 tahun usia PSHK ini, rintisan jalan serta bangunan pengetahuan secara kelembagaan yang telah dirintis sejak 1998 menemukan batu ujinya yaitu menyempitnya ruang demokrasi. Satu-satunya jalan untuk meluaskan kembali ruang yang kini sempit itu adalah dengan bersama jaringan, baik dalam birokrasi maupun sesama organisasi masyarakat sipil, untuk menegaskan ulang akan komitmennya pada demokratisasi dan negara hukum. Mari berharap pada apa yang mungkin terjadi; yaitu meluasnya kembali ruang intervensi kebijakan publik tersebut berkat agenda bersama jaringan birokrasi dan masyarakat sipil. Mari berharap pada apa yang mungkin terjadi.

*)Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia.

Tags:

Berita Terkait