Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia
Kolom

Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia

Khususnya terkait pembatasan tanggung jawab Pertamina dalam kecelakaan tersebut. Sudah waktunya untuk memperbaharui hukum maritim Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Kolase Stefanny O Simorangkir (kiri) dan Boni Facius Justin (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Stefanny O Simorangkir (kiri) dan Boni Facius Justin (kanan). Foto: Istimewa

Pada tanggal 23 September 2021 yang lalu, Indonesia baru saja memperingati hari Maritim Nasional. Sebagai negara kepulauan yang memiliki tujuan menjadi global maritime axis, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang salah satunya akan dibahas dalam artikel ini yaitu terkait dengan insiden tubrukan yang terjadi pada tahun 2019 di perairan Indonesia dekat Pulau Bintan.

Insiden tubrukan tersebut melibatkan kapal berbendera Hong Kong: MT ANTEA/ANTEA dan kapal berbendera Vanuatu: MV STAR CENTURION/CENTURION yang mengakibatkan tenggelamnya kapal tersebut. Kecelakaan ini sempat diberitakan secara luas dan melibatkan bantuan Singapura untuk menyelamatkan beberapa awak kapal CENTURION yang tenggelam setelah kecelakaan.

Sebagaimana umumnya terjadi dalam kecelakaan kapal, sengketa di antara pemilik kapal yang terlibat dalam kecelakaan kemudian timbul. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah, penanganan sengketa tersebut tidak diadili di peradilan Indonesia (yang seharusnya merupakan salah satu forum yang berwenang untuk menangani sengketa yang timbul dari kecelakaan mengingat lokasi kecelakaan terjadi di Indonesia).

Faktanya, sengketa yang timbul dari kecelakaan justru dibawa dan diselesaikan di forum Pengadilan Tingkat Pertama Hong Kong melalui Putusan pada bulan Februari 2021 (Putusan Hong Kong). Pemilihan forum tersebut dilakukan oleh pemilik dan pengelola kapal ANTEA yaitu PT Pertamina (Persero) dalam upaya untuk membatasi tanggung jawabnya atas kerugian yang ditimbulkan karena kecelakaan tersebut.

Upaya Pertamina di atas seolah memicu pertanyaan yang sangat mendasar. Alasan apa yang mendasari salah satu Badan Usaha Milik Negara terbesar di Indonesia harus memperjuangkan hak-haknya melalui forum pengadilan asing dan tidak memilih forum penyelesaian sengketa di dalam negeri/Indonesia?

Kerangka Peraturan Hong Kong dan Analisis atas Putusan Hong Kong

Berbeda halnya dengan Indonesia, Convention of Limitation of Liability for Maritime Claims of 1976 atau Konvensi Pembatasan Tanggung Jawab untuk Klaim Maritim 1976 (Konvensi) telah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan Hong Kong melalui Cap. 434 Merchant Shipping (Limitation of Shipowners Liability) Ordinance (Ordonansi Hong Kong) sejak Tahun 1993.

Namun, Hong Kong secara khusus menunda keberlakuan Pasal 2 ayat 1 (d) Konvensi melalui Bagian 15 pada Ordonansi Hong Kong tersebut. Penangguhan tersebut menyebabkan pembatasan tanggung jawab untuk beberapa klaim maritim menjadi belum berlaku, seperti klaim yang terkait dengan biaya untuk pengangkutan bangkai kapal/wreck removal yang tenggelam (yang dijadikan dasar oleh Pertamina dalam membatasi tanggung jawabnya terkait dengan Kecelakaan). 

Dalam sengketa terkait kecelakaan yang diajukan ke Pengadilan Hong Kong itu, Pertamina berupaya untuk membatasi tanggung jawabnya sehubungan dengan biaya wreck removal atas kapal CENTURION. Pertamina dalam hal ini mencoba menafsirkan paragraf lain pada Konvensi yang memungkinkan pembatasan tanggung jawab sehubungan dengan kerugian konsekuensial/consequnetial loss karena pengoperasian kapal (Pasal 2 Ayat 1 (d) Konvensi). Pertamina berpendapat bahwa pembatasan biaya wreck removal juga dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari kerugian konsekuensial akibat dari Kecelakaan yang pada dasarnya disebabkan oleh pengoperasian kapal ANTEA.

Langkah Pertamina ini ditentang oleh pemilik CENTURION yakni Trevaskis Ltd. Sebagaimana termuat dalam Putusan Hong Kong, Majelis Hakim memenangkan pihak CENTURION/Trevaskis Ltd dan menyatakan bahwa upaya penafsiran yang didalilkan Pertamina tidak dapat diterima karena akan menggagalkan tujuan Hong Kong untuk tidak membatasi kewajiban dalam hal biaya wreck removal dengan menangguhkan pemberlakuan Pasal 2 ayat 1(d) Konvensi.

Penilaian dari Perspektif Hukum Indonesia

Terlepas dari kandasnya upaya Pertamina untuk membatasi tanggung jawabnya terkait dengan kecelakaan, kita dapat mencatat bahwa Pertamina telah memilih forum pengadilan asing yaitu pengadilan Hong Kong untuk menyelesaikan sengketa.

Pemilihan forum pengadilan asing oleh Pertamina dapat diduga diakibatkan oleh kondisi di Indonesia saat ini yaitu: (i) masih belum meratifikasi Konvensi yang memungkinkan pihak untuk membatasi tanggung jawabnya terkait klaim di bidang maritim; dan (ii) kesulitan untuk mengaplikasikan ketentuan pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal dalam klaim maritim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

Untuk lebih spesifik, pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal dalam klaim maritim ditentukan dalam Wetboek van Koophandel voor Indonesie (Kitab Undang – Undang Hukum Dagang/KUHD) yang belum diubah sejak kemerdekaan Indonesia dan tentunya sudah sangat ketinggalan zaman. Hal ini jelas terlihat dari ketentuan pembatasan pertanggungjawaban pemilik kapal berdasarkan tonase dalam Pasal 474 KUHD yang menyebutkan “…maka tanggung jawabnya (pengangkut/pemilik kapal) tentang kerugian yang ditimbulkan kepada barang-barang yang diangkut dengan kapal tersebut, adalah terbatas sampai sejumlah lima puluh rupiah tiap-tiap meter kubik isi bersih kapal tersebut…”. Akibatnya, masih terdapat kekosongan hukum dalam menafsirkan jumlah batasan pertanggungjawaban berdasarkan ketentuan dalam KUHD tersebut. 

Melihat situasi di atas, penerapan pasal tersebut tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat minimnya referensi (misal putusan pengadilan tentang penafsiran dari pasal tersebut), dan akan sangat bergantung pada diskresi dari Hakim yang menangani perkara.

Oleh karena itu, keputusan Pertamina untuk memilih forum pengadilan asing menjadi dapat dimengerti dengan memperhatikan kondisi peraturan perundang-undangan tentang batasan tanggung jawab dalam klaim di bidang maritim yang lebih maju dan jelas di negara lain, dibandingkan dengan ketentuan dalam negeri.

Urgensi Perubahan/Modernisasi KUHD

Sebagai kesimpulan, kasus di atas telah menunjukkan tentang urgensi perubahan/modernisasi KUHD untuk dapat diaplikasikan dan menyesuaikan kebutuhan stakeholders di bidang pelayaran saat ini. Kita telah melihat upaya serius pemerintah untuk merevolusi peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja/Omnibus Law serta peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, proses tersebut tidak lepas dari waktu persiapan yang lama termasuk menimbulkan banyak masalah terkait dengan harmonisasi.

Sebagai alternatif, pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi (Konvensi Pembatasan Tanggung Jawab untuk Klaim Maritim 1976) yang dapat memberikan solusi berupa ketentuan yang jelas untuk pembatasan tanggung jawab dalam klaim maritim dan sesuai dengan standar Internasional. Ratifikasi Konvensi oleh Indonesia juga dapat memberikan kejelasan untuk implementasi ratifikasi atas The Nairobi International Convention on the Removal of Wrecks atau Konvensi Nairobi oleh Indonesia pada 20 Juli 2020, khususnya terkait dengan rujukan kepada Konvensi tentang kewajiban untuk melakukan wreck removal oleh pemilik kapal.

Cara lain yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang sama adalah dengan menerbitkan peraturan pelaksana untuk memperjelas cara penerapan atau memberikan penafsiran terhadap nilai mata uang yang tertera dalam pasal-pasal KUHD. Salah satu contoh dalam skenario serupa adalah pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPId). Dalam peraturan ini, jumlah denda dalam KUHPid yang belum diperbaharui dan sudah sangat kecil nilainya dikalikan sebanyak 1000 kali.

Secara keseluruhan, apabila kita melihat tren pemerintah Indonesia saat ini yang terus mencoba meperbaharui peraturan perundang-undangan yang ada, kami berpandangan bahwa sudah saatnya bagi pemerintah untuk memberikan perhatian juga terhadap pembaharuan/modernisasi ketentuan dalam KUHD, khususnya tentang pembatasan tanggung jawab dalam klaim maritim. Pembaharuan/modernisasi ketentuan peraturan perundang-undangan tentunya dapat menjadi langkah yang positif untuk menciptakan kepastian hukum dan mendukung Indonesia menjadi poros industri maritim.

*)Stefanny O. Simorangkir dan Boni Facius Justin adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait