Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi
Utama

Melihat Efektivitas Fungsi Legislasi DPR di Masa Pandemi

Fungsi pengawasan kebijakan pemerintah melalui produk legislasi yang dihasilkan juga dinilai tak berjalan baik. DPR yang didominasi fraksi partai pendukung pemerintah cenderung memuluskan kebijakan yang diinginkan presiden.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“DPR itu bukan bebas kepentingan, tapi ada kepentingan tarik ulur antar fraksi dan dengan pemerintah. Tapi ini sejarah pemerintah pertama, dimana partai koalisi pemerintah sangat dominan di parlemen. Itu menjadi basis politik pemerintah menggolkan UU Cipta Kerja,” lanjutnya.

Anggota Komisi XI DPR ini melanjutkan percepatan yang dilakukan DPR di tengah situasi pandemi berkaitan penanggulangan wabah menjadi prioritas. Makanya, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menjadi prioritas DPR untuk direvisi dengan memasukan dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Selain itu, beberapa UU perlu mendapat respon cepat DPR dan pemerintah. Seperti UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sebab, pandemi Covid-19 banyak membutuhkan tenaga medis, namun mekanisme menjadi dokter malah penuh dengan “jebakan batman”. “Kami harus revisi itu, walaupun terjadi penentangan dari kelompok kepentingan,” ujarnya.

Pembahasan RUU lain pun tetap berjalan. Seperti RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU lainnya. Dengan begitu, kata Willy, proses percepatan pembahasan RUU terus dilakukan melalui berbagai RDPU. “Dialog menjadi jangkar dalam proses pengambilan kebijakan. Dan disitulah lobi politik terjadi,” kata politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Nabila menilai persoalan legislasi di parlemen tahun ke tahun seringkali sama yakni ambisi besar menetapkan target RUU Prolegnas Prioritas tahunan, tapi penyelesaiannya jauh dari harapan. Awalnya, Prolegnas Prioritas 2020 target 50 RUU. Tapi pertengahan tahun diubah menjadi 37 RUU. Faktanya, hanya 13 RUU yang mampu dirampungkan dengan rincian 3 RUU non kumulatif terbuka dan sisanya RUU kumulatif terbuka. “Jadi memang sangat minim capaiannya,” kata Nabila dalam kesempatan yang sama.

Sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan membentuk UU, DPR dinilai tak optimal. 13 RUU yang disahkan menjadi UU, 6 RUU malah usul inisiatif pemerintah. Seperti UU 2/2020; UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian, UU No.10 Tahun 2020 tentang Bea Matera dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“6 UU ini usulan presiden. Padahal kekuasaan membentuk UU adalah DPR. Sayangnya DPR tidak maksimal,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait