Mediasi Online dalam Proses Sidang E-Litigasi, MA Segera Keluarkan Perma
Berita

Mediasi Online dalam Proses Sidang E-Litigasi, MA Segera Keluarkan Perma

Walau dilakukan secara online, ke depannya penanganan sengketa harus sesuai proses tahapan mediasi dan mengutamakan untuk menjaga kerahasiaan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyelesaian sengketa mediasi. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penyelesaian sengketa mediasi. Ilustrator: HGW

Proses persidangan suatu perkara baik perdata, TUN, agama tidak lepas dari tahapan mediasi. Para pihak diharuskan melaksanakan mediasi sebelum melangkah lebih lanjut dalam proses persidangan. Hakim Tinggi Tanjung Karang Diah Sulasti Dewi mengatakan Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan semua perkara gugatan yang masuk ke pengadilan diwajibkan melalui proses mediasi. Di sisi lain, saat ini peradilan Indonesia sudah memiliki E-Litigasi, mediasi belum memiliki platform dan belum masuk dalam sistem E-Litigasi.

“Mediasi online sebenarnya sudah ada di Perma No. 1 Tahun 2016, namun saat ini sudah ada sidang E-Litigasi, sehingga belum diatur lebih lanjut mediasi dalam E-Litigasi. Nah, saat ini Mahkamah Agung (MA) sedang merumuskan tentang Perma mediasi online, apakah akan menggunakan platform (aplikasi, red) baru atau masuk dalam platform E-Litigasi,” kata Diah yang juga merupakan hakim mediasi dalam diskusi online melalui facebook Archipel Advisory belum lama ini.

Dewi menyebut selama ini telah ada 3 Perma yang mengatur mediasi yakni Perma No. 2 Tahun 2003, Perma No. 1 Tahun 2008, dan Perma No. 1 Tahun 2016. Dewi mengingatkan Perma No. 1 Tahun 2016 dalam Pasal 5 ayat (3) telah mengatur mediasi melalui jarak jauh atau teleconference. “Mediasi itu ada 3 bentuk yaitu mediasi konvensional, jarak jauh dan campuran,” sebutnya.

Dalam kondisi pandemi saat ini mediasi online diperlukan, terlebih sudah ada E-Litigasi, dan beberapa negara pun sudah melakukan mediasi online ini untuk menjadi solusi komunikasi jarak jauh. “Mediasi online ini, kemungkinanan nantinya akan memiliki kendala soal sinyal dan juga kerahasiaan komunikasi yang dikhawatirkan,” kata dia. (Baca: Mengintip Praktik Mediasi di Berbagai Bidang)

Dirinya pun telah memediasi para pihak dengan melakukan secara online pada saat persidangan konvensional. Ia menceritakan ketika itu terdapat perkara pembagian harta gono gini. Ketika itu suami berada di Indonesia, tetapi istrinya berada di Bombai, India, sehingga terpaksa harus melakukan komunikasi teleconference dan akhirnya mendapatkan kesepakatan bersama.

Dewi memaparkan saat ini para pihak bisa melakukan sidang perkara E-Litigasi. Dalam mendaftarkan perkara menggunakan E-Court, diadakan pertemuan langsung dengan para pihak untuk melakukan mediasi, tetapi bukan mediasi online. Setelah melakukan mediasi, tapi hasilnya masih deadlock, maka dilanjutkan ke tahapan persidangan E-Litigasi. “Saat ini sedang dirumuskan draf rancangan Perma mediasi online,” sebutnya.

Berbicara mediasi online, kata dia, ke depannya penanganan sengketa harus sesuai proses tahapan mediasi dan mengutamakan menjaga kerahasiaan. Langkah pertama yang dilakukan, para pihak harus bersepakat terlebih dahulu agar tidak membagikan atau merekam pembicaraan yang ada dan menandatangani tata tertib yang telah ditentukan. “Di sini, yang ditekankan tata tertibnya dalam proses mediasi online,” kata dia.

Dewi melanjutkan seorang mediator harus menggunakan bahasa yang singkat dan efektif. Kesulitannya, pasti mediator akan kesulitan membaca bahasa tubuh dan juga emosi mimik raut muka para pihak dan tidak bisa menyentuh langsung para pihak untuk menenangkan para pihak. “Sehingga, sekali lagi di sini tadi kuncinya ada di tata tertib awal yang disepakati oleh kedua belah pihak,” kata dia.

Setelah tata tertib, lanjutnya, penyampaian pengertian, tujuan dan peran yang mediator yang netral perlu disampaikan. Selanjutnya bila sudah ada surat pernyataan dari kedua belah pihak, mulai perundingan hingga menghasilkan solusi dan mengidentifikasi masalah-masalahnya satu per satu dan jangan sampai bertele-tele. “Harus fokus dan percepatan komunikasi terarah dan bila sudah ada kesepakan akan ditandatangani secara langsung,” kata dia.

Selama ini, praktik mediasi online dalam persidangan tanda tangan masih dilakukan secara manual dan langsung. "Dalam Perma mediasi online yang baru pun nanti masih belum diketahui apakah bisa menggunakan tanda tangan elektronik atau tetap melakukan tanda tangan manual bila terjadi kesepakatan?" 

Dia menambahkan apabila mediasi berhasil maka harus segera disampaikan ke majelis hakim. Lalu, mediator membuat laporan ke majelis hakim. "Nanti yang diatur draf Perma juga berkaitan kesepakatan para pihak yang menggunakan E-Court dan E-Litigasi, lalu tiba-tiba ingin mediasi, nanti di sini yang menjadi mediator adalah majelis hakim. Hal ini nanti diatur dalam Perma,” kata dia.

Sebelumnya, skema Online Dispute Resolution (ODR) dipercaya dapat menghemat biaya dan waktu penyelesaian sengketa. Sistem ini meringkas cara kerja mediasi yang biasanya melalui tatap muka secara langsung bertransformasi menjadi pertemuan melalui sambungan video dengan beberapa fitur transfer dokumen secara online.

CEO Visio Clara (platform ODR asal Singapura), Asha Hemrajani mengatakan, tanpa perlunya pertemuan tatap muka langsung dalam mediasi tradisional, jelas ODR menawarkan benefit berupa penghematan biaya sekaligus waktu yang terpakai dalam pertemuan mediasi. (Baca: Mediasi Online, Kiat Negara Maju Menghemat Waktu dan Biaya)

Dalam proses adaptasi peralihan dari mediasi tradisional menuju ODR, jelas dibutuhkan rentang waktu tertentu baik bagi service provider ataupun mediator untuk mempelajari dan mengembangkan sistem ODR. “Success story di Asia yang bisa dijadikan acuan layaknya Hongkong dengan keberhasilannya menembus hambatan multi yurisdiksi dalam pelaksanaan mediasi melalui ODR,” katanya.

Tags:

Berita Terkait