MA Minta SEMA Whistleblower Jangan Disalahgunakan
Rakernas MA 2011:

MA Minta SEMA Whistleblower Jangan Disalahgunakan

MA meminta pengadilan dapat mengimplementasikan SEMA ini secara baik dan tepat agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
SEMA Whistleblower turut dibahas dalam Rakernas MA 2011. Foto: Humas MA
SEMA Whistleblower turut dibahas dalam Rakernas MA 2011. Foto: Humas MA

Surat Edaran teranyar yang diterbitkan Mahkamah Agung (MA) yakni SEMA No 4 Tahun 2011 menjadi salah satu materi pembahasan Rakernas MA di Jakarta. SEMA yang lengkapnya berjudul Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat agar tidak terjadi penyimpangan.

 

“Penentuan kategori whistleblower atau justice collaborator idealnya sudah diberi tanda-tanda saat proses penyidikan,” kata Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko saat menjawab pertanyaan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram, Lalu Mariyun dalam forum Rakernas, Selasa (20/9).

 

Dijelaskan Djoko, Untuk menentukan seseorang masuk kategori pelapor tindak pidana (whistleblower) atau saksi pelaku yang bekerja sama (justice Collaborator) seharusnya sudah dilakukan saat proses penyidikan. Hal ini, lanjut Djoko, perlu dilakukan agar saksi pelapor dapat memberikan keterangan secara bebas dari ancaman/tekanan dari pihak lain.

 

“Ini juga untuk menjamin orisinalitas keterangan saksi pelapor dalam mengungkap tindak pidana yang lebih besar. Karena itu, penyidik seharusnya sudah bisa memberi tanda-tanda, apakah tersangka masuk kategori whistleblower atau bukan,” papar Djoko.   

 

Djoko mengingatkan bahwa SEMA No 4 Tahun 2011 tidak hanya ditujukan bagi tindak pidana korupsi, tetapi juga tindak pidana tertentu lainnya. Seperti, perkara teroris, tindak pidana pencucian uang, pelanggaran HAM berat, narkotika, dan trafficking.   

 

“Memang semula SEMA itu, yang merupakan pelaksanaan Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban, hanya untuk tindak pidana korupsi, tetapi akhirnya diperuntukkan untuk tindak pidana tertentu lainnya yang sifatnya terorganisir karena kita terikat dengan beberapa konvensi yang sudah diratifikasi,” katanya. “Seharusnya soal ini diatur dalam undang-undang, tetapi karena belum diatur sementara menggunakan SEMA.”

 

Yang tak kalah penting, kata Djoko, whistleblower dan justice collaborator ini selain diberi keringanan hukuman juga harus diberikan reward (penghargaan) berupa piagam atau premi sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam Pasal 42 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Bagi yang berkontribusi harus diberi reward atau insentif oleh pemerintah.” 

 

Karena itu, Djoko meminta pengadilan dapat mengimplementasikan SEMA ini secara baik dan tepat agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sebab, dalam SEMA ini sudah diatur semua rambu-rambu bagi hakim untuk memutuskan apakah terdakwa  masuk kategori whistleblower, justice collaborator atau bukan.

 

“Sedapat mungkin para ketua pengadilan juga harus mendistribusikan perkara-perkara jenis ini kepada majelis hakim yang sama agar tidak terjadi disparitas pemidanaan dan mendahulukan perkara yang diungkap saksi pelaku yang bekerja sama,” pintanya.    

 

Seperti diketahui, MA belum lama ini menerbitkan SEMA No 4 Tahun 2011 pada tanggal 10 Agustus 2011 yang menginstrusikan bagi para hakim untuk memberikan perlakuan khusus berupa keringanan hukuman dan/atau bentuk perlindungan lainnya kepada whistleblower dan justice collaborator untuk perkara tindak pidana tertentu.

 

Untuk kategori whistleblower, SEMA memberi definisi seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Lalu, SEMA menegaskan apabila pelapor dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.

 

Sementara, definisi justice collaborator adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Untuk dapat disebut sebagai justice collaborator, jaksa dalam tuntutannya juga harus menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti kuat yang sangat signifikan.

 

Atas jasa-jasanya, justice collaborator dapat diberi kompensasi oleh hakim berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang sama. Ditegaskan pula pemberian perlakuan khusus tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

 

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai kunci keberhasilan implementasi SEMA ini sebenarnya berada dalam proses penuntutan. “Pelaksanaan SEMA ini sebenarnya ada pada jaksa penuntut umum untuk memberikan fakta yang utuh menyangkut whistleblower atau justice collaborator ini yang kemudian dimohonkan kepada hakim,” kata Arsil.

 

Karena itu, apakah seorang terdakwa masuk kategori whistleblower atau justice collaborator sebelumnya harus dimohonkan oleh jaksa. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. “Tak bisa sekonyong-konyong hakim yang memutuskan itu, harus disepakati dulu oleh hakim, jangan sampai terjadi saksi yang sudah deal dengan jaksa, tetapi tidak diberi keringanan hukuman, malah saksi yang lain diberi,” katanya.

 

 

Tags: