Lisensi "Cap Kaki Tiga" Bermasalah
Utama

Lisensi "Cap Kaki Tiga" Bermasalah

Dua perusahaan farmasi saling gugat perjanjian lisensi merek "Cap Kaki Tiga". Perkaranya kini digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Bekasi.

Mon
Bacaan 2 Menit
Lisensi
Hukumonline

 

Benih perselisihan mulai timbul pada tahun 2000. Wen Ken meradang lantaran Sinde Budi tidak membayar royalti. Sinde Budi juga dituding tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodik, serta menghilangkan logo Kaki Tiga dari kemasan produk. Karena itulah Wen Ken mengajak Sinde Budi berembug untuk merumuskan perjanjian lisensi. Namun, perundingan yang digagas tahun 2006 hingga Januari 2008 tidak mencacapai titik temu.

 

Melalui koran, pada Februari 2008, Wen Ken mengumumkan Sinde Budi bukan pemegang lisensi merek Cap Kaki Tiga. Wen Ken juga menghimbau masyarakat agar tidak melakukan transaksi yang berkaitan dengan produk Cap Kaki Tiga. Pengumuman itu disusul dengan pemberitahuan di koran bahwa penggugat menunjuk PT Tiga Sinar Mestika untuk mencari penerima lisensi Cap Kaki Tiga di Indonesia. Pengumuman ini dibalas oleh Sinde Budi yang tetap mengklaim sebagai pemegang lisensi Cap Kaki Tiga di Indonesia.

 

Wen Ken akhirnya menggugat Sinde Budi. Melalui kuasa hukumnya dari kantor hukum John H Waliry, perusahaan asal Singapura itu mendaftarkan gugatan pada September lalu. Dalam gugatannya, Wen Ken menuntut Sinde Budi untuk menghentikan produksi dan penjualan produk Cap Kaki Tiga. Alasannya, penggunaan Cap Kaki Tiga tidak sah sebab tidak ada perjanjian lisensi tertulis sehingga hubungan hukum kedua perusahaan juga tidak sah.

 

Dalam gugatannya, Wen Ken menuntut pembayaran royalti sebesar 1% dari nilai penjualan Sinde Budi terhitung sejak 1978. Wen Ken juga menuntut ganti rugi materiil sebesar SGD1 juta dolar per tahun terhitung sejak tahun 2000. Sedangkan kerugian immateriil diperhitungkan sebesar SGD2 miliar.

 

Gugat Balik

Kuasa hukum Sinde Budi dari kantor hukum Hotma Sitompul & Associates menegaskan, perjanjian lisensi sudah dituangkan sejak 1978. Perjanjian itu ditandatangani oleh Fu Weng Leng, Direktur Sinde Budi kala itu. Isinya meminta Sinde Budi untuk memproduksi dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga di Indonesia. Sinde Budi juga diminta untuk mendaftarkan merek dan produk Cap Kaki Tiga ke Direktorat Paten.

 

Sebelumnya, pada 1976 Direktorat Paten menolak pendaftaran Cap Kaki Tiga lantaran memiliki kemiripan dengan merek Kaki Tiga Roda yang lebih dulu terdaftar. Akhirnya pada 1979 merek Kaki Tiga Roda milik Thee Tek Seng dibeli oleh Sinde Budi yang dibiayai Tjioe Budi Yuwono, salah satu pemegang saham Sinde Budi. Karena itulah bisnis Cap Kaki Tiga bisa berjalan hingga sekarang.

 

Sinde Budi malah balik menuding Wen Ken yang tidak beritikad baik saat menyusun draft perjanjian lisensi. Sebab meski sudah mencapai kesepakatan pada 29 Januari 2008, sehari kemudian Wen Ken tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Namun demikian, Sinde Budi masih mau bernegosiasi meskipun akhirnya tidak tercapai kesepakatan.

 

Soal pembayaran royalti, Sinde Budi menyatakan sudah melaksanakannya dalam pembayaran sekaligus (lump sum) tanpa memperhitungkan jumlah yang akan diproduksi. Beberapa tahun terakhir disepakati pembayaran royalti sebesar SGD660 ribu per tahun. Jumlah royalti yang dibayarkan sejak 1978 hingga 30 April 2008 mencapai SGD4,962 juta. Sementara soal pelaporan hasil produksi dan penjualan, menurut kuasa hukum Sinde Budi, tidak wajib dilaporkan pada Wen Ken. 

 

Karena merasa dirugikan, Sinde Budi menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi. Alasannya Wen Ken telah menghentikan perjanjian lisensi secara sepihak terhitung 7 Februari 2008 dan berniat mengalihkan lisensi merek Cap Kaki Tiga ke pihak lain. Dalam gugatan yang didaftarkan akhir Oktober lalu, Sinde Budi menilai pengakhiran itu tidak sah.

 

Dalil itu mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, dimana perikatan dapat dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Lalu pasal 1266 KUHPerdata menentukan pembatalan perjanjian secara sepihak harus diajukan ke pengadilan. Sinde Budi menilai penghentian itu merupakan perbuatan melawan hukum.

 

Akibat pembatalan perjanjian itu, Sinde Budi mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp200 miliar sebagai komprensasi biaya promosi yang telah dikeluarkan. Dengan pengakhiran sepihak itu promosi produk Cap Kaki Tiga menjadi sia-sia dan tidak bernilai lagi.

 

Selain itu, Sinde Budi mengalami kerugian bisnis berupa potensi kerugian pendapatan (loss profit) sebesar 5% dari total omset per tahun selama 10 tahun yaitu Rp200 miliar. Termasuk pula kerugian investasi berupa alat produksi, tanah dan bangunan yang berjumlah Rp200 miliar. Kerugian immateriil juga diperhitungkan sebesar Rp200 miliar. Sehingga total seluruh ganti rugi sebesar Rp800 miliar.

Segarnya minuman larutan Cap Kaki Tiga, tak sesegar hubungan bisnis PT Sinde Budi Sentosa (produsen) dengan pemilik merek Cap Kaki Tiga, Wen Ken Drug Co Pte Ltd. Hubungan bisnis yang terjalin sejak 1978 kini tersandung masalah lisensi merek. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tengah menggelar sengketa itu di persidangan.

 

Tiga puluh tahun lalu Wen Ken Drug, perusahaan farmasi asal Singapura, memberi lisensi atas merek Cap Kaki Tiga pada Sinde Budi untuk memproduksi dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga di Indonesia. Hubungan kerja sama mulanya dijalin berdasarkan kekeluargaan. Pasalnya, salah satu pemegang saham Wen Ken adalah saudara sepupu dari pemegang saham Sinde Budi. Lantaran ada hubungan kekerabatan, perjanjian pemberian lisensi itu tidak dituangkan secara tertulis.

Tags: