Kisah Perjuangan Soepomo dan Konsep Negara Integralistik
Tokoh Hukum Kemerdekaan

Kisah Perjuangan Soepomo dan Konsep Negara Integralistik

​​​​​​​Mendapat kepercayaan di bidang hukum dari Pemerintahan Hindia Belanda, tak membuat Soepomo ‘buta’ akan keadaan rakyat Indonesia yang terbelenggu oleh kebodohan dan kesengsaraan.

M. Agus Yozami
Bacaan 5 Menit

Setidaknya ada tiga teori yang diutarakan Soepomo. Pertama, teori negara individualistik yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Herbert Spencer yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika. Di sini negara harus melakukan kontrak sosial dengan warganya dan konstitusinya amat sarat dengan kepentingan individualisme. Kedua, teori pertentangan kelas ala Marx, Engel dan Lenin yang menyebutkan kaum buruh harus menguasai negara –diktator proletariat-, agar negara tak lagi dijadikan kaum borjuis sebagai mesin penindas.

Ketiga, adalah teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Hegel dan Adam Muller yang mengedepankan kesatuan (integralistik) negara dengan masyarakat sehingga negara tak diperkenankan memihak golongan warga tertentu. Buah pemikiran Soepomo dan kawan-kawan itu kemudian disahkan menjadi Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945. Selanjutnya, perumusan undang-undang dasar, BPUPKI digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). (Baca: Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat)

Dari tiga teori yang dipaparkan Soepomo di hadapan sidang resmi pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945, dia cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.

Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. "..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights,"ujar Soepomo.

“Setiap orang dan golongan sudah memiliki tempat dan perannya sendiri dalam kehidupan (dharma) sesuai dengan hukum kodrat, dan individu tidak terpisahkan dari individu lainnya ataupun dari alam”. Pandangan Soepomo mengenai teori negara integralistik.

Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya, seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.

Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.

Lantaran mengedepankan paham integralistik, Soepomo dicap sebagai penganut negara totaliter dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo –dan belakangan Soekarno- harus berdebat dengan M. Yamin dan M Hatta tentang konsep HAM dan paham integralistik itu.

Kekalahan Jepang di Perang Dunia II dimanfaatkan Bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, disusul penggelaran sidang PPKI keeseokan harinya dengan menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta menetapkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Selain itu PPKI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah PPKI dibubarkan, anggotanya masuk ke KNIP. Kemudian pada 19 Agustus 1945, Soekarno membentuk kabinet yang terdiri dari 16 menteri. Di dalamnya terdapat nama Soepomo sebagai Menteri Kehakiman. Soekarno merasa yakin terhadap keahlian Soepomo di bidang hukum.

Tags:

Berita Terkait