Kewajiban Notaris Menyimpan Rahasia Tak Berlaku untuk Tindak Pidana Khusus
Kolom

Kewajiban Notaris Menyimpan Rahasia Tak Berlaku untuk Tindak Pidana Khusus

Khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.

Bacaan 6 Menit
Kewajiban Notaris Menyimpan Rahasia Tak Berlaku untuk Tindak Pidana Khusus
Hukumonline

Notaris adalah salah satu jabatan di Indonesia yang dalam menjalankan jabatannya berkewajiban menyimpan rahasia. Kewajiban Notaris untuk menyimpan rahasia ini tertuang dalam beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Menurut Pasal 4 UUJN sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya. Salah satu sumpah/janji jabatan Notaris, berbunyi sebagai berikut: “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”.

Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UUJN, ditentukan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Kemudian menurut Pasal 54 UUJN, disebutkan bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Sebagai pejabat yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia, Notaris diancam hukuman penjara jika dengan sengaja membuka rahasia, sebagaimana diatur dalam Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan”.

Notaris dapat dimaknai termasuk salah satu jabatan atau pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal ini. Selain diancam hukuman penjara, Notaris juga dapat dikenai sanksi diberhentikan dari jabatannya, jika melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya untuk menyimpan rahasia, ketentuan ini diatur dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN.

Karena terancam dihukum penjara dan diberhentikan dari jabatannya, maka Notaris dapat meminta dibebaskan untuk memberikan kesaksian, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi: “mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.

Kemudian menurut Penjelasan Pasal 170 ayat (1) KUHAP disebutkan pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Notaris dapat dimaknai adalah salah satu pekerjaan atau jabatan yang dimaksud dalam Pasal ini dan UUJN dapat dimaknai adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal tersebut.

Ketentuan yang sama dengan Pasal 170 ayat (1) KUHAP, juga diatur dalam Pasal 1909 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang antara lain berbunyi, “semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka hakim, namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”. Notaris dapat dimaknai adalah salah satu kedudukan atau pekerjaan atau jabatan yang dimaksud dalam Pasal ini, dan salah satu undang-undang yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai ialah UUJN.

Selanjutnya menurut Pasal 43 KUHAP ditentukan bahwa: “penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain”. Mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya menurut Pasal ini dapat dimaknai salah satunya adalah Notaris dan atas persetujuan mereka yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai adalah persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN), sedangkan menurut undang-undang yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai adalah UUJN.

Persetujuan MKN yang dimaksud oleh Pasal 43 KUHAP tersebut di atas diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

  1. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan
  2. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Selanjutnya pelaksanaan Pasal 66 ayat (1) UUJN ini diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tugas dan Fungsi, Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian, Struktur Organisasi, Tata Kerja, Dan Anggaran Majelis Kehormatan Notaris. Permenkumham tersebut menyebutkan bahwa Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Meskipun UUJN mewajibkan Notaris untuk menyimpan rahasia, akan tetapi UUJN juga menentukan pengecualian. Menurut UUJN kewajiban menyimpan rahasia dikecualikan terhadap undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang menentukan lain atau dengan perkataan lain manakala ada undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang membebaskan Notaris dari kewajiban menyimpan rahasia, maka Notaris tidak wajib untuk menyimpan rahasia dan Notaris dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas tuduhan membuka rahasia.

Ada sejumlah undang-undang yang meniadakan atau yang membebaskan Notaris dari kewajiban untuk menyimpan rahasia, undang-undang tersebut antara lain adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kemudian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan). Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang).

Menurut Pasal 35 dan Pasal 36 UU Tipikor, antara lain disebutkan bahwa setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dan kewajiban memberikan kesaksian berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia. Pekerjaan atau jabatan dalam pasal ini dapat dimaknai salah satunya adalah pekerjaan atau jabatan Notaris.

Sementara itu menurut Pasal 35 UU Perpajakan disebutkan antara lain bahwa apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.

Selanjutnya menurut Pasal 45 UU Pencucian Uang disebutkan pula antara lain adalah bahwa dalam melaksanakan kewenangannya (meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta) maka terhadap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. Yang dimaksud dengan kerahasiaan antara lain rahasia bank, rahasia non-bank, dan sebagainya.

Kemudian menurut Pasal 72 UU Pencucian Uang antara lain disebutkan pula bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari: 1. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, 2. tersangka atau 3. terdakwa.

Dalam meminta keterangan bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lain. Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan juga termasuk ketentuan mengenai kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor. (Pihak Pelapor yang dimaksud dalam Pasal ini salah satunya adalah Notaris)

Mengacu kepada UU Tipikor, UU Perpajakan dan UU Pencucian Uang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban notaris dalam menyimpan rahasia ditiadakan atau tidak berlaku. Khususnya informasi yang terkait dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.

Atas dasar itu, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang, sebenarnya tidak membutuhkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris.

Oleh karena itu aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) seharusnya tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan kepada Majelis Kehormatan Notaris. Sejalan dengan itu pula jika seandainya kepada Majelis Kehormatan Notaris dimintai persetujuan oleh aparat penegak hukum, sebaiknya Majelis Kehormatan Notaris tidak perlu ragu-ragu untuk memberikan persetujuannya. Namun jika Majelis Kehormatan Notaris menolak memberikan persetujuan, aparat penegak hukum dapat menempuh prosedur hukum yang diatur oleh Pasal 43 KUHAP yaitu memohon persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setempat.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn., adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait