Ketika Notaris Merangkap Sebagai "Detektif"
Kolom

Ketika Notaris Merangkap Sebagai "Detektif"

Selain menghadapi kendala, Notaris juga menghadapi risiko tinggi dalam penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ini.

Bacaan 6 Menit
Ketika Notaris Merangkap Sebagai
Hukumonline

Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (penerapan PMPJ) bagi Notaris selaku Pihak Pelapor dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disadari atau tidak, pengaturan ini telah menjadikan Notaris merangkap sebagai "detektif".

Pengaturan ini juga termaktub dalam aturan pelaksana antara lain, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris (Permenkumham No. 9 Tahun 2017), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU.UM.01.01-1232 Tahun 2019 Tentang Panduan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), detektif adalah polisi rahasia atau reserse. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa detektif adalah seseorang yang melakukan penyelidikan terhadap suatu kejahatan, baik sebagai detektif polisi maupun sebagai detektif swasta. Tugas detektif antara lain mengumpulkan bukti-bukti, menerapkan metode untuk mengorek fakta lebih banyak, menghubungkan segala informasi yang diperoleh dan mengungkapkan kebenaran dari kasus yang ditangani.

Rangkap jabatan yang mirip detektif ini terjadi ketika Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya membuat akta otentik menerapkan PMPJ sebagaimana diatur oleh Permenkumham No. 9 Tahun 2017 dan SE Dirjen AHU No.1232 Tahun 2019. Penerapan PMPJ adalah rangkaian kegiatan atau proses atau prosedur yang dilakukan oleh Notaris selaku Pihak Pelapor yang meliputi kegiatan identifikasi Pengguna Jasa dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), kegiatan verifikasi Pengguna Jasa dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dan kegiatan pemantauan transaksi Pengguna Jasa dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Notaris adalah salah satu profesi yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai salah satu Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yaitu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Pengguna Jasa adalah setiap orang dan korporasi (badan hukum/badan usaha) yang menggunakan jasa Notaris dan yang dimaksud dengan Pemilik Manfaat atau Beneficial Owner adalah setiap orang yang: a). memiliki hak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan Transaksi Pengguna Jasa, baik secara langsung maupun tidak langsung; b). merupakan pemilik sebenarnya dari harta kekayaan yang berkaitan dengan Transaksi Pengguna Jasa; c). mengendalikan Transaksi Pengguna Jasa; d). memberikan kuasa untuk melakukan Transaksi; e). mengendalikan Korporasi; dan/atau merupakan pengendali akhir dari Transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.

Penerapan PMPJ tersebut menurut Permenkumham No. 9 Tahun 2017 dan SE Dirjen AHU No.1232 Tahun 2019, dilakukan dalam hal Notaris memberikan jasa atas transaksi mengenai: a).pembelian dan penjualan properti; b). pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya; c). pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek; d). pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau e). pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.

Selanjutnya ditentukan bahwa penerapan PMPJ untuk transaksi tersebut di atas dilakukan pada saat Notaris: a). melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; b). terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c). terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d). Notaris meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.

Sedangkan yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut Permenkumham No. 9 Tahun 2017 dan SE Dirjen AHU No.1232 Tahun 2019, adalah: a). Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b).Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Sebelum menerapkan PMPJ, Notaris terlebih dahulu melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi kepada Pengguna Jasa bahwa Notaris akan menerapkan PMPJ kepada Pengguna Jasa. Jika Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi penerapan PMPJ (menolak untuk diidentifikasi, menolak untuk diverifikasi dan menolak untuk dipantau) Notaris wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa dan penolakan Pengguna Jasa untuk mematuhi penerapan PMPJ wajib dilaporkan kepada PPATK sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Sebaliknya bagi Notaris yang tidak menerapkan PMPJ kepada Pengguna Jasa akan diberikan sanksi.

Kegiatan identifikasi pengguna jasa untuk orang/perorangan yang dilakukan oleh Notaris meliputi permintaan dokumen dan informasi terkait: a). identitas Pengguna Jasa yang memuat: nama lengkap; nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor; tempat dan tanggal lahir; kewarganegaraan; alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon bila ada; dan alamat di negara asal dalam hal warga negara asing; b). pekerjaan; c). sumber dana; d). hubungan usaha atau tujuan Transaksi yang akan dilakukan Pengguna Jasa dengan Notaris; e). nomor pokok wajib pajak; dan f). informasi lain untuk mengetahui profil Pengguna Jasa lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan kegiatan identifikasi pengguna jasa yang dilakukan oleh Notaris untuk Korporasi meliputi permintaan dokumen dan informasi terkait: a). identitas Pengguna Jasa yang memuat: nama Korporasi; nomor surat keputusan pengesahan Korporasi dalam hal telah berbadan hukum; bentuk Korporasi; bidang usaha; nomor izin usaha dari instansi berwenang; dan alamat Korporasi dan nomor telepon; b). sumber dana; c). hubungan usaha atau tujuan Transaksi yang akan dilakukan Pengguna Jasa dengan Notaris; d). informasi pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama Korporasi; e). informasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) atas Korporasi; f). nomor pokok wajib pajak; dan g). informasi lain untuk mengetahui profil Pengguna Jasa lebih dalam, termasuk informasi yang diperintahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila terdapat Pengguna Jasa atau Pemilik Manfaat yang memiliki tingkat risiko tergolong tinggi, Notaris wajib melakukan identifikasi lebih mendalam meliputi:

a. meminta tambahan informasi mengenai Pengguna Jasa dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dan melakukan verifikasi yang didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait,

b. meminta tambahan informasi mengenai sumber dana, sumber kekayaan, tujuan transaksi, dan tujuan hubungan usaha dengan pihak yang terkait Pengguna Jasa dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dan melakukan verifikasi yang didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait.

Pengguna Jasa atau Pemilik Manfaat yang memiliki tingkat risiko yang tergolong tinggi tersebut yaitu:

a. merupakan PEP (Politically Exposed Person) atau Orang yang Populer Secara Politis (seperti, lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, negara asing/yurisdiksi asing; atau organisasi internasional); dan

b. bertransaksi dari dan/atau ditujukan ke negara yang berisiko tinggi.

Selanjutnya menurut Permenkumham No. 9 Tahun 2017 dan SE Dirjen AHU No.1232 Tahun 2019, setelah proses identifikasi selesai, Notaris wajib melakukan verifikasi terhadap informasi dan dokumen yang diberikan untuk mengetahui kebenaran formil, dengan prosedur sebagai berikut:

  1. Melakukan wawancara untuk meminta keterangan dari pengguna jasa.
  2. Melakukan konfirmasi kepada instansi yang berwenang menerbitkan dokumen pengguna jasa, misalnya akses informasi E-KTP ke Kementerian Dalam Negeri dan
  3. Meminta kepada pengguna jasa untuk memberikan dokumen pendukung yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

Setelah melakukan verifikasi, selanjutnya Notaris harus melakukan pemantauan transaksi pengguna jasa sesuai dengan hubungan usaha yang menjadi lingkup jasa Notaris, dengan prosedur sebagai berikut:

  1. Melihat tata cara pembayaran transaksi, baik tunai maupun non tunai, pelaku transaksi, nominal transaksi, dan/atau tanggal transaksi dan
  2. Melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen pendukung jika terdapat perubahan.

Penerapan PMPJ oleh Notaris sebagaimana diuraikan di atas (yakni melakukan kegiatan identifikasi, verifikasi dan pemantauan transaksi pengguna jasa dan atau pemilik manfaat akan mengalami kendala ketika Pengguna Jasa menolak penerapan PMPJ. Notaris akan mengalami kesulitan melaporkannya kepada PPATK karena tidak mungkin memperoleh informasi dan dokumen dari Pengguna Jasa yang menolak penerapan PMPJ.

Selain menghadapi kendala, Notaris juga menghadapi risiko tinggi dalam penerapan PMPJ ini. Alasannya karena penerapan PMPJ tersebut mirip dengan tugas detektif dan dilaksanakan tanpa pamrih (tidak mendapat imbalan berupa gaji atau biaya operasional apapun dan dari siapapun).

Selain itu, jika Notaris melakukan penerapan PMPJ ini dan Pengguna Jasa menolaknya, maka bagi Notaris tersebut berpotensi ditinggalkan oleh Pengguna Jasa. Akhirnya, hal ini akan berdampak terhadap penghasilan dan kelangsungan hidup Notaris. Penerapan PMPJ oleh Notaris diprediksi akan efektif jika pemerintah berkenan membuat kebijakan atau regulasi tentang perlindungan atau jaminan sosial atau jaminan hari depan bagi Notaris yang menjadi korban akibat Penerapan PMPJ ini.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn., adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait