Kekerasan, Bukan Jalan Keluar
Tajuk

Kekerasan, Bukan Jalan Keluar

Kalau ada yang namanya “islands of integrity”, maka mungkin perlu dibangun “islands of non-violence” dimana toleransi di masyarakat kecil ini dibuat zero terhadap kekerasan dan persenjataan dalam segala bentuk.

Bacaan 2 Menit

Aturan yang umum dimanapun juga, mereka yang diberi hak untuk memegang senjata diberi kekuasaan begitu besar untuk menggunakannya bagi keperluan yang diizinkan. Polisi dan tentara diberi hak itu untuk menjalankan fungsinya menjaga keamanan da tata tertib, hak-hak individual dan masyarakat, harta benda serta wilayah dan batas-batas negara. Tidak untuk tujuan lain. Bilamana keperluan untuk itu tidak ada, polisi dan tentara hanya boleh menyimpan senjatanya di barak. Kalau sipil diberi hak untuk memegang dan menggunakan senjata, maka tidak ada cara apapun yang aman dan efektif untuk mengendalikan penyalahgunaannya.

Mempersenjatai sipil adalah kesalahan berpikir para pembuat kebijakan. Perang kemerdekaan sudah lewat, dan senjata tidak dibutuhkan lagi oleh kaum sipil. Ketertiban dan keamanan sipil pertama kali harus dibangun oleh masyarakat sipil sendiri, hanya dengan patuh hukum dan bertingkah laku anti kekerasan. Terbukti di Amerika, dimana sipil berhak memegang senjata (89 senjata untuk setiap 100 orang Amerika), angka kekerasan dengan menggunakan senjata api sangat tinggi (8,583 orang terbunuh dengan senjata api sebelum tutup tahun 2012 ini). Terbukti di Jepang, dimana sipil tidak berhak memegang senjata, angka kekerasan dengan menggunakan senjata api dengan korban tewas hampir zero (11 selama tahun 2008, bandingkan dengan 12.000 di Amerika pada tahun yang sama). 

Sejarah adalah milik penguasa. Itu terjadi dimana hak atas informasi bisa dikekang, secara hukum maupun teknologi. Pada era ini, hukum masih bisa dibuat represif, karena kaum ultra-nasionalis masih kuat bersuara, dan pembuatan hukum masih bisa dibeli. Tetapi teknologi nyaris membebaskan kita dari penindasan dengan cara pembungkaman diperolehnya informasi. Tidak ada yang bisa memblokir masuknya informasi karena teknologi berkembang tiap menit. Inovasi-inovasi baru di bidang tekonologi komunikasi dan informasi tidak memiliki pagar batas, ia memasuki ruang-ruang, majelis-majelis, perdebatan-perdebatan dan pengerucutan ide-ide besar yang datang dari bawah. Dahulu corong dipegang oleh satu tangan, semua yang lain terbungkam. Sekarang setiap orang memiliki corong sendiri, suara, koran, majalah, radio bahkan televisi melalui internet yang hingar-bingarnya mampu menembus ruang, waktu serta batas-batas wilayah.

Ketika penindasan-penindasan dan kekerasan-kekerasan itu terjadi, dimana penguasa negara melakukan pembiaran, organisasi internasional diam, kita menyaksikan ada yang tidak bisa dibungkam dan dibuat diam. Organisasi sosial dan kemasyarakatan, tokoh-tokoh masyarakat, masjid, gereja, kuil dan kelenteng antar bangsa bergerak. Mereka mengulurkan tangan. Mungkin tidak sangat efektif, tetapi mereka bergerak, mencegah, merawat dan menyembuhkan serta mengembalikan harapan. Selama kepentingan dominasi politik, ekonomi dan kekuasaan serta kepentingan lainnya masih merasuki benak para penguasa, pemimpin  dan anggota masyarakat biasa dalam hubungan mereka dengan pihak lain, mungkin kekerasan masih akan terus terjadi. Tetapi, seperti juga membangun masyarakat anti korupsi, atau masyarakat yang toleransinya zero terhadap korupsi, maka kita perlu membangun masyarakat anti kekerasan. Sekecil apapun masyarakat itu. Kalau ada yang namanya “islands of integrity”, maka mungkin perlu dibangun “islands of non-violence” dimana toleransi di masyarakat kecil ini dibuat zero terhadap kekerasan dan persenjataan dalam segala bentuk. Pulau-pulau ini akan terus berkembang, saling merangkai, melintasi batas kampung, kota dan negara. Pada akhirnya, seperti juga korupsi, kekerasan menjadi musuh setiap orang, dosa setiap masyarakat. Pekerjaan polisi dan militer akan jadi semakin ringan, karena yang mereka tindak sudah menjadi musuh bersama.

Menutup tahun 2012 ini, resolusi yang paling masuk akal buat kita bangsa Indonesia, mungkin bagaimana ke depan kita membuang jauh-jauh ide kekerasan sebagai jalan keluar suatu masalah, bahkan semua masalah. Kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan baru. Kalau kita pernah diwarisi “budaya” kekerasan, hanya karena itu pernah terjadi ber-ulang-ulang, itu hanya percikan-percikan tidak terkendali karena kita membiarkan itu terjadi. Seharusnya itu tidak terjadi, dan tidak boleh terjadi lagi. Luka yang ditimbulkan karena kekerasan, apalagi yang bersifat massal, akan menoreh dalam sekali, dan sulit disembuhkan. Luka itu tidak hanya dirasakan oleh korban dan keluarganya, tetapi juga membebani seluruh anggota masyarakat dan bangsa dengan sejarah kelam. 

Kita juga akan mengkhianati cita-cita dan kesepakatan kita untuk membentuk republik dan bangsa ini. Budaya kita adalah budaya toleransi. Rakyat di bawah punya toleransi tiada habisnya. Harapan yang sama karenanya juga kita inginkan terjadi di elit politik. Tidak ada cara lain, untuk melihat Indonesia yang kita cita-citakan di masa depan, kita harus menolak siapapun di elit politik dan kekuasaan yang berlatar-belakang dan sejarah kelam kekerasan. Kita hanya boleh dipimpin oleh mereka yang punya toleransi dan tidak menjadikan kekerasan sebagai panglima.

Kita mengaku beradab dan punya konstitusi yang menjunjung peradaban. Peradaban kita adalah kemanusiaan yang adil. Sesuatu yang selalu perlu direnungkan kembali setiap putaran roda bumi membawa kita berganti tahun.

Halaman Selanjutnya:
Tags: