Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial
Kolom

Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial

UU ITE hingga perubahan terakhirnya masih belum menjamin kebebasan berpendapat di media sosial.

Bacaan 4 Menit

Haris-Fatia sebenarnya sedang melakukan kritik pada konten podcast dengan menggunakan istilah “Lord” yang ditujukan pada Luhut Binsar Pandjaitan. Pertimbangan hakim menilai bahwa kata tersebut tidak memenuhi unsur bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dikutip dari isi putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan, “Menimbang bahwa dengan demikian Majelis Hakim menilai frasa kata LORD pada saksi Luhut Binsar Pandjaitan bukanlah dimaksudkan sebagai suatu penghinaan atau pencemaran nama baik, karena kata LORD bukanlah kata yang menggambarkan kondisi buruk atau jelek atau hinaan atas keadaan fisik atau psikis seseorang, tetapi merujuk pada suatu status atau posisi seseorang yang berhubungan dengan kedudukannya”.

Dikutip dari Keterangan Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nomor 03/HM.001/2024, penjatuhan vonis bebas tersebut berdampak positif bagi hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun, menjadi catatan penting bahwa permasalahan tersebut sebenarnya tidak perlu diselesaikan di meja hijau.

UU ITE—khususnya perubahan terakhir—masih banyak menyisakan potensi ancaman terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pembuat kebijakan untuk melakukan penilaian atas hasil revisi UU ITE. Rekomendasi tersebut bertujuan mencegah penerapan UU ITE yang malah membungkam kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil.

Masa Depan Kebebasan Berpendapat

Usia Reformasi 1998 saat ini telah memasuki 26 tahun. Banyak janji tuntutan reformasi yang dicita-citakan seperti menjunjung tinggi supremasi hukum, pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme, adili Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/POLRI), dan melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya. Hingga kini semua tuntutan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Salah satu contohnya yaitu penegakan supremasi hukum dengan menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum diharapkan berlaku efektif melindungi seluruh warga negara tanpa intervensi siapa pun, termasuk rezim pemerintahan.

Contoh lain adalah kurang ditegakkannya supremasi hukum terhadap kebebasan berpendapat di media sosial. Penulis menilai UU ITE hingga perubahan terakhirnya masih belum menjamin kebebasan berpendapat di media sosial. Artinya, kebebasan dalam menyampaikan pendapat masih menghadapi tantangan besar. Masih ada represi dan pembungkaman yang bisa dilakukan oleh rezim pemerintahan.

Padahal, kebebasan berpendapat telah memiliki payung hukum tersendiri mulai dari isi konstitusi di Pasal 28 huruf c, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j UUD NRI 1945. Ketentuan Pasal 28 UUD 1945 diperkuat dengan sejumlah pasal dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25.

Kebebasan berpendapat bagi setiap orang memang telah dijamin secara konstitusional, tapi yang menjadi perhatian adalah cara menyampaikan pendapatnya. Telah jelas Hakim membebaskan Haris-Fatia dari tuntutan dengan pertimbangan frasa ”Lord” tersebut. Penulis menilai perlu bagi seluruh pejabat bercermin kepada Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi akan mengakhiri jabatannya. Sosoknya selalu mendapatkan kritikan, cercaan, bahkan hinaan atas kinerja, intelektualitas, bahkan fisiknya. Namun, Presiden Joko Widodo tetap rendah hati dan tidak menghiraukan hal tersebut.

*)Setiawan Jodi Fakhar, S.H., adalah Associate pada Widjaja, Effendy & Mukianto Law Firm.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait