Karna
Tajuk

Karna

Pemegang kekuasaan tertinggi dalam beberapa bulan ke depan, mungkin bukan yang terbaik buat negara dan bangsa ini, tetapi setidaknya kita masih punya harapan agar orang-orang baik, di dalam dan di luar pemerintahan, masih mau untuk terus bekerja keras menegakkan tonggak-tonggak kebaikan sesuai cita-cita bangsa.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 6 Menit
Adipati Karna. Ilustrasi: BAS
Adipati Karna. Ilustrasi: BAS

Janji Allah itu pasti, karena sebagaimana tercermin dalam 99 asma-Nya, Allah adalah Al Karim (Maha Pemurah), Al Mujiib (Maha Mengabulkan), Al Muqtadir (Maha Berkuasa), dan Al Aziz (Maha Perkasa). Janji manusia sangat tidak bisa diukur dan diandalkan. Janji manusia diukur dari rekam jejak dan integritas yang telah teruji dan terbukti telah terbangun untuk waktu yang lama. Itupun tidak bisa pasti, karena manusia berubah, penuh dosa, dan khilaf. Juga tiba-tiba manusia, bahkan seorang pemimpin bisa saja berubah, berbuat dosa dan khilaf.

Janji-janji manusia dalam pemilu karenanya perlu ditakar dari rujukan minimum tadi, rekam jejak dan integritasnya. Syukur-syukur pemberi janji itu adalah manusia yang mampu selalu berpikir dan bertindak konsisten, dan mencoba dengan keras untuk mengikuti sifat-sifat dalam asma-asma Allah tadi, paling tidak meniru untuk ingat janji, tidak ingkar dan menepatinya pada waktu berkuasa nanti.

Dalam kontestasi pemilu, maka pemilih dihadapkan pada pilihan-pilihan ideologi, tokoh, partai, program, dan janji-janji kampanye sebagai faktor-faktor penentu dalam menentukan pilihannya. Apalagi pemilih pemula, yang pastinya menghadapi lebih banyak kendala, dan sungguh sulit menentukan pilihan, karena tidak ada koneksivitas, pengalaman, dan eksposur mereka dengan faktor-faktor penentu mereka yang berkampanye. Ideologi juga semakin menipis, sehingga kita tidak tahu lagi partai politik apa memiliki ideologi apa, kecuali warna bendera dan kostumnya. Semua mengaku Pancasilais, tapi rekam jejak mereka banyak sekali yang tidak menunjukkan demikian. Satu contoh saja, susah dicari partai politik yang kadernya bebas korupsi menggangsir uang negara, bebas konflik kepentingan, atau tidak melakukan pelanggaran etika politik.

Buat pemilih yang sudah cukup berumur, maka rekam jejak, sentimen, bukti integritas dan latar belakang informasi tentang para calon seringkali sudah pudar dari benak mereka. Hilang atau sengaja dihilangkan, dan dikubur kemudian ditumpuk dengan imej baru yang sengaja dibentuk untuk mendekati pemilih dan menangguk suara, terutama suara pemilih ragu dan mengambang.

Debat capres dan cawapres mungkin menarik, mereka saling adu ide dan argumentasi, dan karena emosi yang terpancing, cenderung untuk cepat mengobral bahkan menaikkan tingkat janji, lepas dari data dan proyeksi berbasis keilmuan dan pengalaman empirik. Semua janji butuh aksi implementasi yang terukur dengan besaran anggaran dan belanja negara, tingkat pertumbuhan yang masuk akal di tengah resesi dan semua ketidakpastian, dan kontraksi serta disrupsi yang sangat mungkin terjadi, dan terus terjadi, yang tidak bisa dibayangkan kedatangannya dan kemasifannya.

Seorang teman muda mengatakan “a leopard never changes its spots”. Seseorang tidak akan bisa mengubah sifat aslinya bagaimanapun ia berusaha keras menutupinya dengan semua gimik yang sengaja dibangun. Untuk pemilih yang terpelajar, “well-informed”, dan terekspos dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan praktik politik, sulit untuk melupakan atau mengingkari fakta-fakta yang melekat pada setiap calon. Ukuran-ukuran yang sudah pasti bisa digunakan juga lebih mudah diterapkan, misalnya kaitan si calon dengan: korupsi, pelanggaran HAM, pelanggaran etika, ketaatan pada hukum, wawasan kebangsaan, kesetiaan pada praktik demokrasi, pengalaman mengelola keberagaman dalam tataran nasional, eksposur internasional, paham ekonomi dan bisnis, dekat dengan dan mengerti kebutuhan rakyat jelata, tidak terkolusi dengan bisnis besar, dan tahu mau dibawa ke mana negeri dan bangsa ini di tengah semua permasalahan global.

Dengan ukuran-ukuran tadi, terus terang saya termasuk yang masih ragu untuk menentukan pilihan. Debat yang sudah terjadi tidak juga memberi tambahan amunisi untuk menentukan pilihan. Kalau ada keraguan sedikit mungkin bisa ditepis dengan “trust”, seperti dulu saya pernah sebentar punya “trust” terhadap beberapa presiden terdahulu. Tetapi keraguan yang sangat besar pasti sulit untuk ditambal atau dipoles dengan cara apapun.

Adalah suatu keniscayaan bahwa pada Valentine Day 14 Februari 2024 nanti kita akan mencoblos di bilik suara, dan segera “quick counts” akan memberi tahu kita siapa pasangan pemenang pilpres berikut dengan wapresnya. Kalaupun terjadi putaran kedua, juga suatu keniscayaan bahwa pemungutan suara akan dilakukan pada tanggal 26 Juni 2024, dan pada tanggal 20 Oktober 2024 sudah akan ada pengucapan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029.

Siapapun kita, dengan latar belakang apapun, dengan pilihan manapun, suka tidak suka, akan menghadapi kenyataan ini. Kita akan punya presiden dan wakil presiden baru yang akan menentukan strategi dan kebijakan negara ini 5 tahun ke depan, di masa ketika dunia masih berada dalam konflik, perang, disrupsi dan banyak ketidakpastian lainnya.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih mungkin bukan pilihan atau jagoan kita, itupun kalau ada, tetapi sebagai warga negara yang taat pada praktik demokrasi, kenyataan tersebut harus diterima. Kita punya pilihan untuk ikut memberi kontribusi positif untuk membangun negara ini dengan pemimpin negara yang baru, atau konsisten menjadi warga negara yang terus memberi kritik kepada pemerintahan baru, dengan sekeras apapun, dalam rangka terus membangun praktik demokrasi yang sehat, sistem hukum yang berjalan di relnya, dan keadilan sosial bagi masyarakat luas.

Pemerintahan baru bisa baik, medioker, atau bahkan buruk di dalam menjalankan strategi dan kebijakannya. Pilihan-pilihan untuk ikut serta dalam posisi-posisi saling bertentangan tersebut menjadi terbatas. Yang jelas, pilihan untuk diam dan tidak berbuat apa-apa bukan opsi yang baik untuk bangsa ini.

Dengan segala kegalauan tersebut, kita jadi ingat bahwa orang baik juga ada di mana-mana, dan bahkan rela melakukan pilihan yang sulit di tengah suasana politik yang mungkin tidak sesuai dengan kemauan, pilihan dan nuraninya. Karna adalah seorang adipati di Astina, saudara kandung pandawa lima, tetapi karena keadaan menjadi bagian dari Korawa. Bisma adalah kakek Pandawa dan Korawa, panutan mereka, tetapi terpaksa berada di pihak Korawa. Karna dan Bisma bahkan pernah menjadi panglima perang Korawa dalam perang Baratayudha, dan gugur dengan ikhlas karenanya. Dalam kesulitannya masing-masing, Karna dan Bisma berpihak pada Korawa, golongan yang dianggap sebagai opresor dalam cerita pewayangan Mahabaratha. Sama halnya dengan Kumbakarna, adik Rahwana, yang setia dengan negaranya, Alengka, yang juga opresor dan berperang melawan Rama dan pasukan keranya dalam cerita Ramayana.

Orang-orang baik bisa dengan sengaja atau terpaksa berada di tempat yang salah dan mencoba mencegah kerusakan, dan kalau bisa berbuat kebaikan di tengah kondisi yang sesulit apapun. Di zaman Republik ini, begitu banyak Menteri, Jaksa Agung, Hakim Agung, anggota parlemen yang baik di zaman Soekarno yang gagal mementaskan ekonomi kita. Ada orang-orang baik seperti Marie Muhammad dan Kuntoro Mangkusubroto di zaman Soeharto yang opresif. Ada orang-orang baik seperti Kuntoro Mangkusubroto, Marsillam Simanjuntak, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Sri Mulyani di era reformasi. Padahal kita tahu bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di era-era itu tidak selamanya menunjukkan kemauan dan konsistensi melaksanakan praktik demokrasi, anti korupsi dan penghargaan terhadap HAM, terutama di zaman Soeharto.

Terbayang sulitnya bekerja dan emosi serta nurani yang sering terusik manakala keputusan harus diambil oleh orang-orang baik ini di tengah permasalahan governance, korupsi, etika dan praktik demokrasi yang naik turun di masa pemerintahan-pemerintahan itu. Bahkan sampai detik ini masalah ini pun masih terus terjadi. Kita masih menjadi negara dengan indeks korupsi yang membuat hati miris, kita berpraktik demokrasi yang terjaga hanya formatnya, dan pembelaan terhadap kepentingan publik dalam legislasi dan penerapannya masih begitu banyak masalah.

Jadi, kita hanya bisa berharap, bahwa akan selalu ada orang-orang seperti Karna, Bisma, Kumbakarna, Marie Muhammad, Kuntoro, Dorodjatun, Marsillam, Sri Mulyani dan orang-orang baik lainnya yang dengan cara-caranya sendiri, di tengah suasana sesulit dan seaneh apapun, masih mau berada dalam lingkaran kekuasaan yang seburuk apapun untuk terus menjaga harkat dan martabat bangsa dan negeri ini. Dan masih akan ada orang-orang baik di luar kekuasaan yang dengan cara terhormat, mungkin dengan keras, masih rela melancarkan kritik kepada penguasa untuk meluruskan praktik demokrasi, penegakan hukum yang adil, dan mengutamakan kepentingan publik diatas segalanya.

Tahun akan segera berganti, tahun 2024 sudah dekat di depan kita. Semua upaya telah kita lakukan untuk menuntaskan semangat reformasi selama seperempat abad terakhir. Kita mungkin terhenti, atau bahkan dipaksa berjalan mundur karena berbagai kondisi. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam beberapa bulan ke depan, mungkin bukan yang terbaik buat negara dan bangsa ini, tetapi setidaknya kita masih punya harapan, doa dan usaha agar orang-orang baik, di dalam dan di luar pemerintahan, masih mau untuk terus mencoba dan bekerja keras menegakkan tonggak-tonggak kebaikan demi apa yang kita cita-citakan bersama sebagai bangsa.

Selamat menyongsong tahun baru 2024.

Arief Surowidjojo - Babakan Madang, 29 Desember 2023

Tags:

Berita Terkait