Karna
Tajuk

Karna

Pemegang kekuasaan tertinggi dalam beberapa bulan ke depan, mungkin bukan yang terbaik buat negara dan bangsa ini, tetapi setidaknya kita masih punya harapan agar orang-orang baik, di dalam dan di luar pemerintahan, masih mau untuk terus bekerja keras menegakkan tonggak-tonggak kebaikan sesuai cita-cita bangsa.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 6 Menit

Adalah suatu keniscayaan bahwa pada Valentine Day 14 Februari 2024 nanti kita akan mencoblos di bilik suara, dan segera “quick counts” akan memberi tahu kita siapa pasangan pemenang pilpres berikut dengan wapresnya. Kalaupun terjadi putaran kedua, juga suatu keniscayaan bahwa pemungutan suara akan dilakukan pada tanggal 26 Juni 2024, dan pada tanggal 20 Oktober 2024 sudah akan ada pengucapan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029.

Siapapun kita, dengan latar belakang apapun, dengan pilihan manapun, suka tidak suka, akan menghadapi kenyataan ini. Kita akan punya presiden dan wakil presiden baru yang akan menentukan strategi dan kebijakan negara ini 5 tahun ke depan, di masa ketika dunia masih berada dalam konflik, perang, disrupsi dan banyak ketidakpastian lainnya.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih mungkin bukan pilihan atau jagoan kita, itupun kalau ada, tetapi sebagai warga negara yang taat pada praktik demokrasi, kenyataan tersebut harus diterima. Kita punya pilihan untuk ikut memberi kontribusi positif untuk membangun negara ini dengan pemimpin negara yang baru, atau konsisten menjadi warga negara yang terus memberi kritik kepada pemerintahan baru, dengan sekeras apapun, dalam rangka terus membangun praktik demokrasi yang sehat, sistem hukum yang berjalan di relnya, dan keadilan sosial bagi masyarakat luas.

Pemerintahan baru bisa baik, medioker, atau bahkan buruk di dalam menjalankan strategi dan kebijakannya. Pilihan-pilihan untuk ikut serta dalam posisi-posisi saling bertentangan tersebut menjadi terbatas. Yang jelas, pilihan untuk diam dan tidak berbuat apa-apa bukan opsi yang baik untuk bangsa ini.

Dengan segala kegalauan tersebut, kita jadi ingat bahwa orang baik juga ada di mana-mana, dan bahkan rela melakukan pilihan yang sulit di tengah suasana politik yang mungkin tidak sesuai dengan kemauan, pilihan dan nuraninya. Karna adalah seorang adipati di Astina, saudara kandung pandawa lima, tetapi karena keadaan menjadi bagian dari Korawa. Bisma adalah kakek Pandawa dan Korawa, panutan mereka, tetapi terpaksa berada di pihak Korawa. Karna dan Bisma bahkan pernah menjadi panglima perang Korawa dalam perang Baratayudha, dan gugur dengan ikhlas karenanya. Dalam kesulitannya masing-masing, Karna dan Bisma berpihak pada Korawa, golongan yang dianggap sebagai opresor dalam cerita pewayangan Mahabaratha. Sama halnya dengan Kumbakarna, adik Rahwana, yang setia dengan negaranya, Alengka, yang juga opresor dan berperang melawan Rama dan pasukan keranya dalam cerita Ramayana.

Orang-orang baik bisa dengan sengaja atau terpaksa berada di tempat yang salah dan mencoba mencegah kerusakan, dan kalau bisa berbuat kebaikan di tengah kondisi yang sesulit apapun. Di zaman Republik ini, begitu banyak Menteri, Jaksa Agung, Hakim Agung, anggota parlemen yang baik di zaman Soekarno yang gagal mementaskan ekonomi kita. Ada orang-orang baik seperti Marie Muhammad dan Kuntoro Mangkusubroto di zaman Soeharto yang opresif. Ada orang-orang baik seperti Kuntoro Mangkusubroto, Marsillam Simanjuntak, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Sri Mulyani di era reformasi. Padahal kita tahu bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di era-era itu tidak selamanya menunjukkan kemauan dan konsistensi melaksanakan praktik demokrasi, anti korupsi dan penghargaan terhadap HAM, terutama di zaman Soeharto.

Terbayang sulitnya bekerja dan emosi serta nurani yang sering terusik manakala keputusan harus diambil oleh orang-orang baik ini di tengah permasalahan governance, korupsi, etika dan praktik demokrasi yang naik turun di masa pemerintahan-pemerintahan itu. Bahkan sampai detik ini masalah ini pun masih terus terjadi. Kita masih menjadi negara dengan indeks korupsi yang membuat hati miris, kita berpraktik demokrasi yang terjaga hanya formatnya, dan pembelaan terhadap kepentingan publik dalam legislasi dan penerapannya masih begitu banyak masalah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait