Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia
Wawancara

Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi Warisan Hukum Belanda di Indonesia

Indonesia perlu memperkaya gagasan dan metode studi hukum. Semangat keterbukaan sebenarnya telah ditanamkan sejak pendirian Rechtshogeschool.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Jadi minimnya penggunaan sumber hukum selain undang-undang di Indonesia tidak bisa dikaitkan sebagai bentuk konsistensi mengikuti sistem civil law?

Kalau di Perancis, Belgia, Italia, Belanda, Jerman (Adriaan menyebut beberapa negara dengan sistem civil law-red) itu dipelajari. Bahkan tidak ada satu negara pun yang pakar hukum di sana tidak mempelajari yurisprudensi. Malah hakim di semua negara itu menggunakannya sebagai referensi. Misalnya saya baca satu putusan hakim di Jerman, pasti kebanyakan pertimbangan hukumnya dengan referensi yurisprudensi.

 

Mungkin kekurangan dana di universitas membuat para Profesor tidak punya waktu lagi untuk mempelajari hukum dengan baik. Mereka harus cari nafkah di luar kampus, jadi lebih gampang untuk mengajar hanya dengan bahan undang-undang yang ada saja.

 

Saya kira begini, jadi ada Guru Besar yang suka sistem seperti sekarang ini, tapi mereka mencari pembenaran kenapa sistemnya cukup begitu saja. Alasannya karena Indonesia menggunakan sistem civil law. Ternyata tidak ada satu pun negara civil law di Eropa yang menggunakan metode seperti di Indonesia. Pendidikan hukum di semua negara itu memakai metode studi kasus. Di Rechtshogeschool zaman Belanda pun berbagai studi kasus masuk juga di buku-buku doktrin hukum. Semua buku doktrin hukum di zaman itu begitu, saya bisa menunjukkannya. 

 

Jadi kemiskinan metode dalam mempelajari dan menerapkan hukum di Indonesia bukan karena terlalu konsisten mengikuti sistem civil law warisan pemerintah kolonial Belanda?

Itu tidak benar. Sejak dulu sudah ada filsafat hukum dan sosiologi hukum yang dianggap sebagai cabang dari ilmu hukum. Dalam penemuan hukum memang diawali dengan metode doktrin, tetapi sistemnya tetap terbuka untuk metode lain. Paul Scholten yang mendirikan Rechtshogeschool di Batavia (Jakarta-red.) dulu sudah bilang bahwa harus mengerti masyarakat dan kondisi nyata di lapangan untuk bisa menemukan hukum. Sekali lagi, saya kira masalah di Indonesia muncul karena kemiskinan metode hukum yang dipakai.

 

Kita membutuhkan studi socio-legal untuk mengerti apa keterangan hukum, bagaimana hukum bisa lebih efektif, apa saja masalah hukum yang terjadi dalam praktiknya, apa kendala besarnya. Jadi dulu kalau belajar hukum di Rechtshogeschool akan belajar juga sosiologi. Pengetahuan kemasyarakatan itu semuanya masuk di kurikulum. Memang kalau hakim akan memutuskan kasus tidak akan menggunakan metode socio-legal, tetapi dia akan menggunakan insight dari penelitian socio-legal untuk menginterpretasi, open concept. Misalnya dalam hal kepentingan anak, iktikad baik, dan sebagainya.

Tags:

Berita Terkait