Kala MK Ingatkan Advokat Wajib Pakai Toga di Sidang Sengketa Pilpres
Sengketa Pilpres 2019:

Kala MK Ingatkan Advokat Wajib Pakai Toga di Sidang Sengketa Pilpres

Hakim Konstitusi hanya mengingatkan bagi advokat wajib memakai toga dan pendamping nonadvokat tak diwajibkan memakai toga dalam persidangan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Pernyataan Suhartoyo ini pun ditanggapi Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf selaku Pihak Terkait, Yusril Ihza Mahendra. Dia menjelaskan ada timnya yang memang berstatus sebagai advokat, tapi saat ini statusnya sebagai anggota DPR yaitu Arsul Sani dan Trimedya Pandjaitan. Saat ini, kedua orang tersebut berstatus advokat nonaktif karena sekarang menjabat anggota DPR.

 

"Kalau untuk rekan kami, Saudara Trimedya dan Saudara Arsul, mereka pendamping dan advokat, tetapi saat ini mereka sebagai anggota DPR. Kami takut ada yang nantinya salah sangka," ujar Yusril dalam persidangan.

 

Atas pernyataan itu, Suhartoyo mengingatkan bagi pendamping yang nonadvokat tak diwajibkan memakai toga. Yang diwajibkan pakai toga yang berprofesi sebagai advokat. "Kalau untuk mereka (pendamping) tidak ada kewajiban memakai toga. Pak Yusril tak usah dijelaskan saya sudah paham. Dia kan mantan advokat atau nonaktif," jawab Suhartoyo.

 

Sebelumnya, dalam persidangan yang sama Tim Kuasa Hukum Pemohon sudah menyampaikan materi permohonan yang dibangun berdasarkan kategori kualitatif dan kuantitatif. Argumentasi kualitatif (kualitas proses pilpres), Tim Kuasa Hukum Prabowo mendalilkan pasangan calon (paslon) 01 Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin melakukan kecurangan pemilu (electoral fraud) yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

 

Terdapat lima bentuk dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Paslon 01 yakni Penyalahgunaaan APBN dan Program Kerja Pemerintah; Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN; Ketidaknetralan Aparatur Negara seperti Polisi dan Badan Intelijen Negara (BIN); Pembatasan Kebebasan Media dan Pers; dan Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum. 

 

Sedangkan argumentasi kuantitatif (perolehan suara pilpres) juga terjadi kecurangan TSM). Diantaranya, daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak masuk akal karena ketidakwajaran data kelahiran yang sama dengan jumlah 17,5 juta; ditemukan data ganda di lima provinsi sebanyak 6.169.895 orang; adanya DPT yang tidak masuk akal dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas yang menimbulkan masalah sangat substansi dalam pelaksanaan pilpres. 

 

Selain itu, adanya kekacauan situng KPU dalam kaitannya dengan DPT. Dalam situng KPU banyak kesalahan input data yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian data (informasi) dengan data dalam formulir C-1 yang dipindai KPU sendiri di 34 provinsi seluruh wilayah Indonesia. (Baca Juga: Tim Hukum Prabowo Beberkan Beragam Kecurangan Pilpres)

Tags:

Berita Terkait