John Dussich:
Psikopat Tak Berarti Layak Dihukum Mati
Profil

John Dussich:
Psikopat Tak Berarti Layak Dihukum Mati

Hukuman seharusnya didasarkan pada seberapa berat kejahatan yang dilakukan terdakwa.

MVT/RZK
Bacaan 2 Menit
John Dussich, ahli viktimologi California State University, Amerika Serikat. Foto: Sgp
John Dussich, ahli viktimologi California State University, Amerika Serikat. Foto: Sgp

Anda tentu masih ingat nama Very Idham Henyansyah. Ya, Very atau populer disebut Ryan adalah pelaku pembunuhan dan mutilasi berantai dengan belasan korban di berbagai kota. Ryan telah divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok, bulan April 2009 lalu.

Salah satu bagian menarik dari proses persidangan Ryan adalah ketika pengacara terdakwa mengajukan argumen bahwa Ryan punya masalah kejiwaan. Dengan alasan itu, pengacara berpendapat Ryan seharusnya dapat dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Si pengacara merujuk pada Pasal 44 KUHP yang menyatakan “sakit jiwa” sebagai alasan pemaaf pidana. Sayangnya -atau untungnya-, hakim justru sependapat dengan keterangan ahli psikolog forensik Untung Lelono di persidangan, bahwa sakit jiwa yang dialami Ryan bukan kegilaan sehingga tidak dapat dijadikan dalih pemaafan.

Banyak pihak mensyukuri putusan ini. Masyarakat terlanjur melabeli Ryan sebagai psikopat yang membahayakan dan jika dilepaskan justru berpotensi mengulangi kejahatannya. Hukuman mati dinilai pantas, karena ia terkesan tak memiliki perasaan menyesal atas kejahatan mengerikan itu. Saat pemeriksaan persidangan pun terungkap bahwa saat melakukan mutilasi, Ryan dalam keadaan sadar dan tidak menyesal sama sekali. Singkatnya, tak ada lagi hukuman yang pantas bagi psikopat seperti dirinya selain hukuman mati.

Namun, pendapat ini ditentang John Dussich, ahli viktimologi dari California State University, Amerika Serikat dan Direktur Tokiwa Intenational Victimology Institute, Jepang. Menurutnya, psikopat tidak bisa dan tidak boleh dijadikan dasar penghukuman pelaku tindak pidana.

“Jangan menghukum seseorang berdasarkan label psikologis yang diberikan kepadanya. Hukuman harus diberikan sesuai berat-ringannya kejahatan yang dilakukan,” kata Doktor Psikopatologi lulusan Florida State University ini.

Hukumonline berkesempatan mewawancarai Dussich saat ia hadir dalam 11th Asian Pacific Global Course on Victimology and Victims Assistance, di Universitas Indonesia, Depok, akhir Juli lalu. Ditemui usai penutupan acara, Dussich bercerita panjang lebar tentang psikopat, viktimologi, dan praktik di Negeri Paman Sam.

Berikut kutipan wawancara hukumonline dengan pria yang juga pensiunan Polisi Militer Amerika Serikat ini.

Bagaimana hukum di Amerika Serikat melindungi korban tindak kejahatan?
Setiap hukum negara bagian dan hukum federal memiliki aturan mengenai hak korban. Hampir semua didasarkan pada Deklarasi PBB tentang Prinsip Keadilan Bagi Korban Kejahatan. Deklarasi itu menegaskan bahwa setiap korban kejahatan memiliki hak akses informasi atas perkembangan kasusnya di setiap tingkatan, menerima kompensasi dan restitusi, serta terlibat dalam setiap tahap peradilan. Itu diakomodasi dalam hukum federal dan sebagian besar hukum negara bagian.

Bagaimana bentuk keterlibatan korban kejahatan dalam proses peradilan pidana. Apakah hanya sekedar memberitahukan perkembangan kasus, atau mereka juga diberikan hak memaafkan pelaku yang kemudian menghapuskan pidananya?
Satu hal yang perlu saya sampaikan terlebih dahulu, penegasan hak korban kejahatan itu dalam tataran teori. Pada praktiknya, ada perbedaan-perbedaan. Banyak negara bagian yang ternyata tidak menjalankannya sama sekali. Mereka tidak menginformasikan perkembangan kasus kepada korban, tidak melibatkan korban dalam proses, dan lainnya.

Meski tidak sedikit yang berusaha menjalankannya sesuai prinsip, ada satu hal yang sering terlupakan, yaitu membantu korban menghilangkan trauma. Korban seringkali dilupakan setelah kasus selesai, pelaku mendapatkan vonis. Selain itu, ada juga permasalahan dalam pelaksanaan kompensasi bagi korban. Hak atas kompensasi memang kerap jadi bagian dari putusan, namun ternyata tidak ada yang bisa memaksakan pelaku membayar kompensasi sesuai putusan pengadilan.

Artinya mekanisme perlindungan korban di Amerika Serikat tidak berjalan dengan baik?
Memang ada banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun, saya kira Amerika Serikat berhasil menjalankan sistem pendampingan korban dengan sukses. Banyak korban kejahatan seperti KDRT, pembunuhan, kekerasan terhadap anak mendapat pelayanan untuk menghilangkan trauma mereka.

Di Indonesia, ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Korban diperlakukan sebagai saksi dan ditempatkan dalam satu sistem perlindungan yang sama dengan saksi oleh satu badan. Bagaimana di Amerika Serikat?
Ya, korban juga ditempatkan bersama dalam satu mekanisme perlindungan. Salah satu alasan utamanya karena penuntut umum membutuhkan kesaksian korban sehingga perlu kerjasama dan kesediaan yang baik dari korban. Penuntut umum akan berusaha maksimal untuk menjaga korban. Bedanya, di Amerika Serikat perlindungannya berada pada level negara bagian.

Saya bertemu Ketua LPSK (Abdul Haris Semendawai, red) sekitar tiga kali dan kami berdiskusi panjang tentang program perlindungan korban dan saksi. Ada beberapa hal yang saya sarankan kepadanya untuk perbaikan mekanisme perlindungan korban dan saksi di Indonesia.

Salah satunya, Indonesia perlu mengadakan survei nasional viktimisasi sehingga didapatkan data pasti jumlah korban kejahatan. Saat ini, anda tidak tahu berapa banyak korban kejahatan, kan? Jumlah yang tercatat oleh polisi hanya korban yang melapor. Jumlah yang tidak melapor pasti jauh lebih besar. Apalagi korban kejahatan personal, seperti perkosaan, perampokan, kekerasan anak, KDRT.

Ini yang saya sampaikan ke Semendawai, anda tidak akan bisa membuat keputusan yang baik tentang perlindungan korban tanpa tahu seberapa banyak jumlahnyaMemang, survei ini membutuhkan banyak waktu dan biaya, namun sangat mungkin. Banyak negara sudah melakukannya. Terakhir saya dengar Malaysia.

Di Amerika Serikat, kami melakukannya setiap enam bulan. Malaysia setahu saya lima tahun sekali. Saya sarankan di Indonesia setidaknya tiap tiga tahun, mempertimbangkan luas wilayah dan kebutuhan biaya. Survei ini akan sangat baik sebagai sumber informasi riset perlindungan korban dan saksi kejahatan. Dengan survei ini, anda juga akan memahami kebutuhan korban kejahatan.

Apakah perlu dibentuk badan baru pelaksana survei ini?
Saya pikir intinya lembaga yang independen dan memiliki kemampuan. Badan Pusat Statistik bisa melakukannya. Mereka mempunyai sumber daya dan kemampuan untuk itu. Satu hal, jangan libatkan lembaga kepolisian, karena mereka bagian dari penilaian.

Tentang fenomena psikopat, bagaimana mendefinisikanya?
Ini konsep yang sangat membingungkan sebenarnya. Hampir semua psikolog forensik tidak yakin psikopat itu konsep yang valid. Ini seperti konsep miscellaneous (tidak jelas, red), setiap orang yang melakukan hal jahat dan tidak dapat dapat dimengerti, langsung disebut psikopat. Itu tidak memberikan informasi sama sekali. Banyak kriminolog yang tidak menggunakan istilah itu.

Tema master saya soal psikopatologi. Dalam psikopatologi ada yang disebut MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory). Ini cara untuk mengidentifikasi personalitas kejiwaan. Memang, ada satu skala yang disebut psikopat, tetapi sekali lagi, ini kategori miscellaneous, tidak terlalu dianggap. Jika seorang disebut sebagai psikopat, artinya sebenarnya psikolog tidak dapat menjelaskan apakah orang ini neurotik, psikotik, atau medic depressive. Di Amerika Serikat, bahkan istilah psikopat ini tidak digunakan lagi.

psi·ko·pat n orang yang karena kelainan jiwa menunjukkan perilaku yang menyimpang sehingga mengalami kesulitan dalam pergaulan

[http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php]

Perlukah perlakuan khusus bagi orang psikopat?
Tidak. Sebagian besar psikopat karakternya tidak punya emosi, rasa bersalah, agresif, dan seringkali mengulang tindak pidana. Di California, tempat saya tinggal sekarang, jika anda melakukan lebih dari tiga kejahatan serius, anda pasti dipenjara seumur hidup. Berapapun hukuman yang telah anda jalankan untuk dua kejahatan sebelumnya. Tak masalah kalaupun psikolog bilang orang ini psikopat, tidak penting. Tidak ada perlakukan khusus.

Apa psikopat bisa disebut gila. Di Indonesia, kegilaan bisa jadi pengurang hukuman karena dianggap tidak bisa mempertanggunjawabkan perbuatan?
Psikopat juga bukan kegilaan. Kalau orang itu sakit jiwa, itu kategori sendiri, disebut psikotik. Hal penting untuk diperhatikan apakah orang ini bisa berpikir secara rasional. Kalau tidak bisa berpikir rasional, maka harus diletakkan di rumah sakit jiwa. Itu bisa jadi dasar pemaaf.

Kalau orang yang terkategori psikopat, perlu ada perlakuan khusus di penjara?
Harusnya diletakkan di penjara terburuk. Keamanan maksimum, dipisahkan dari orang lain karena dianggap mereka agresif, bisa melakukan lagi kejahatan di penjara.

Apa artinya lebih baik tidak mengatur psikopat dalam hukum?
Tidak ada keuntungannya, ini kategori yang unknown (tak dapat dijelaskan, red). Psikolog tidak bisa menjelaskan mengapa orang ini tidak punya emosi, rasa bersalah, sangat agresif, dan lainnya. Kalau di-polygraph, akan terlihat hanya garis datar. Maka disebutlah psikopat. Dan karena tidak bisa dijelaskan, maka tidak bisa pula dicari solusinya secara ilmiah. Karena itu tidak ada keuntungannya mengatur. Tak akan membantu sama sekali.

Bagaimana dengan memperberat bahkan menghukum mati orang seperti ini?
Intinya jangan menghukum berdasarkan label psikologis. Hukuman harusnya hanya diberikan berdasarkan berat ringannya kejahatan yang dilakukannya, bukan karena label psikopat. Bukan karena mereka tak punya rasa bersalah, lalu dihukum mati saja.

Bagaimana di Amerika Serikat?
Banyak orang seperti ini yang dihukum mati, tapi karena memang karena kejahatannya serius. Kebanyakan pembunuh berantai, meski memang tidak semua negara bagian menerapkan hukuman mati. Hal-hal psikologis itu hanya sebagai informasi tambahan dan pertimbangan.

Tags: