Ironi PPAT dalam Merahasiakan Minuta Akta
Kolom

Ironi PPAT dalam Merahasiakan Minuta Akta

Dalam praktik ditemukan ada sejumlah PPAT yang diperiksa tanpa persetujuan dari Pengadilan Negeri atau Majelis Pembina dan Pengawas PPAT.

Bacaan 6 Menit
Ironi PPAT dalam Merahasiakan Minuta Akta
Hukumonline

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum tertentu tersebut, yaitu pembuatan Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas tanah Hak Milik, dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Jabatan PPAT ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 (Peraturan Jabatan PPAT).

Di kalangan masyarakat masih banyak yang berasumsi bahwa jabatan PPAT itu sama dengan jabatan Notaris. Asumsi ini keliru, karena jabatan PPAT tersebut berbeda sama sekali dengan jabatan Notaris.

Perbedaan jabatan PPAT dengan jabatan Notaris antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Jabatan PPAT sedangkan jabatan Notaris diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014.
  2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
  3. Kewenangan PPAT meliputi pembuatan akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (hanya membuat delapan jenis akta autentik terkait pertanahan sebagaimana disebutkan di atas). Sedangkan Notaris berwenang membuat akta autentik untuk seluruh perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.
  4. PPAT diawasi oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT (MPPP), sedangkan Notaris diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris (MPN).

Meskipun PPAT dan Notaris adalah dua jabatan yang berbeda namun dari aspek pejabat penyimpan rahasia, PPAT dan Notaris adalah sama-sama pejabat yang disumpah atau memiliki kewajiban untuk merahasiakan isi akta-akta yang dibuat di hadapannya. 

Menurut Pasal 15 Peraturan Jabatan PPAT, sebelum menjalankan jabatannya PPAT wajib diambil sumpahnya. Salah satu bunyi sumpah PPAT menurut Pasal 34 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Per.Ka.BPN No.1 Tahun 2006) adalah sebagai berikut: “Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat di hadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”.

Sebagai pejabat yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia, PPAT diancam hukuman 9 bulan penjara jika dengan sengaja membuka rahasia, sebagaimana diatur dalam Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan”.

Selain diancam hukuman penjara, PPAT juga dapat dikenai sanksi diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat (dipecat), jika melakukan pelanggaran terhadap sumpah jabatannya dalam merahasiakan isi akta-akta yang dibuatnya. Ketentuan ini diatur dalam Lampiran II tentang Jenis Pelanggaran dan Sanksi, Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Per.Ka.BPN No. 2 Tahun 2018).

Karena terancam dihukum penjara dan diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat tersebut, maka PPAT dapat meminta dibebaskan untuk memberikan kesaksian dalam rangka kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini berbunyi: “mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.

Selanjutnya menurut Pasal 43 KUHAP ditentukan bahwa: “penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain”.

Mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya menurut pasal ini dapat dimaknai salah satunya adalah PPAT. Sedangkan menurut undang-undang yang dimaksud dalam pasal ini dapat dimaknai adalah Peraturan Jabatan PPAT.

Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Jabatan PPAT, Pasal 34 Per.Ka.BPN No.1 Tahun 2006, Pasal 322 ayat (1) KUHP, Lampiran II Per.Ka.BPN No. 2 Tahun 2018, Pasal 170 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 43 KUHAP sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengambil asli atau fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT dan atau memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol PPAT yang berada dalam penyimpanan PPAT dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan diperlukan persetujuan atau izin dari ketua pengadilan negeri setempat.

Kenyataannya dalam praktik sering ditemukan permintaan persetujuan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta dan memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta diajukan oleh aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) dilakukan kepada Majelis Kehormatan Notaris (MKN) setempat.

Padahal, permintaan persetujuan kepada MKN setempat untuk memeriksa PPAT sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya keliru dan salah kamar. Ini dikarenakan MKN setempat tidak berwenang memberikan persetujuan untuk pemeriksaan PPAT. MKN setempat hanya berwenang memberikan persetujuan untuk pemeriksaan Notaris bukan PPAT.

Kekeliruan atau salah kamar ini diduga terjadi karena beberapa faktor penyebab antara lain:

  1. Kurangnya pemahaman yang baik dan benar terhadap perbedaan jabatan PPAT dan jabatan Notaris.
  2. Pada umumnya jabatan PPAT dan jabatan Notaris tersebut dirangkap atau dijabat oleh orang yang sama sehingga menimbulkan kesan bahwa jabatan Notaris dan jabatan PPAT adalah sama.
  3. Dalam Peraturan Jabatan PPAT tidak ada pengaturan yang jelas dan tegas mengenai persetujuan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta dan atau memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta sebagaimana halnya pengaturan tentang MKN yang diatur secara jelas dan tegas dalam Peraturan Jabatan Notaris.

Meskipun jabatan PPAT memiliki Majelis Pembina dan Pengawas PPAT (MPPP) sebagaimana diatur dalam Per.Ka.BPN No. 2 Tahun 2018, namun MPPP tersebut tidak diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta dan atau memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.

MPPP hanya diberikan fungsi koordinasi dan fungsi pemberian bantuan hukum sesuai dengan amanat Pasal 50 ayat 5 Per.Ka.BPN No. 2 Tahun 2018 yang mengatur antara lain bahwa dalam hal penyidik akan memeriksa PPAT atas dugaan tindak pidana dapat berkoordinasi dengan pihak Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT).

Selanjutnya ditentukan bahwa PPAT yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik, dapat mengajukan permohonan bantuan hukum kepada pihak Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Majelis Pembina dan Pengawas PPAT dan/atau Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Bantuan hukum tersebut dapat berupa saran, masukan atau pendampingan dalam penyidikan dan/atau keterangan ahli di pengadilan.

Ketiga faktor penyebab tersebut di atas yang mengakibatkan dalam praktik ditemukan ada sejumlah PPAT yang diperiksa tanpa persetujuan dari Pengadilan Negeri atau Majelis Pembina dan Pengawas PPAT. Padahal, PPAT dan Notaris adalah sama-sama pejabat pembuat akta autentik yang disumpah dan berkewajiban menyimpan rahasia dan terancam dipenjara dan dipecat jika membuka rahasia.

Untuk memberikan perlindungan hukum bagi PPAT, seharusnya pemerintah segera membentuk lembaga seperti MKN atau menambah kewenangan MPPP untuk memberikan persetujuan bagi aparat penegak hukum dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT dan atau memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol PPAT yang berada dalam penyimpanan PPAT untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Sambil menunggu pemerintah membentuk lembaga seperti MKN atau menambah kewenangan MPPP sebagaimana disampaikan di atas, kepada aparat penegak hukum diimbau agar meminta persetujuan atau izin dari ketua pengadilan negeri setempat jika ingin mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT dan atau memanggil PPAT untuk hadir dalam pemeriksaan.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn., adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait