Inilah Perundang-undangan yang Berperan Mengubah KUHP
Potret Kamus Hukum Indonesia

Inilah Perundang-undangan yang Berperan Mengubah KUHP

Salah satunya pernah dimohonkan uji ke Mahkamah Konstitusi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Orang awam yang membaca KUHP versi lama mungkin terheran-heran begitu murahnya sanksi denda yang tercantum jika dibandingkan dengan nilai tukar rupiah saat ini. Sekadar contoh, Pasal 168 ayat (1) KUHP menyebutkan ‘barangsiapa yang secara melawan hukum memaksa masuk ke dalam suatu ruangan untuk dinas umum, atau secara melawan hukum berada di situ yang atas permintaan pegawai negeri yang berwenang tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara maksimum empat bulan dua minggu atau pidana denda maksimum tiga ratus rupiah.

 

Hanya denda 300 ratus rupiah? Kenapa bisa semurah itu? Ada yang memberikan petunjuk penjumlahan, ada juga yang menyebut jumlah yang berbeda. S.R. Sianturi (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya) menuliskan jumlah itu dikalikan 15. Feby Mutiara Nelson, dalam bukunya, KUHAP dan KUHP, menuliskan jumlah denda itu empat ribu lima ratus rupiah.

 

Perubahan dalam KUHP bukan hanya tentang denda. Ada beberapa materi yang berubah, baik dalam bentuk perubahan istilah maupun diselipkannya (insert) beberapa pasal baru. Dalam perjalanannya, ada beberapa undang-undang yang mempengaruhi atau mengubah materi muatan KUHP.

 

Sesuai dengan asas lex special derogate legi generale, sejumlah aturan dalam KUHP sudah dikesampingkan sejak adanya Undang-Undang yang lebih khusus. Namun apa yang dimaksud dalam tulisan ini tidak termasuk ketentuan-ketentuan pidana khusus yang kini sangat banyak. Inilah beberapa Undang-Undang yang sangat berperan mengubah KUHP.

 

UU No. 1 Tahun 1946

Diteken Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 26 Februari 1946, UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo. Wet ini merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk menjalankan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Berhubung Indonesia belum lama merdeka, maka peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di zaman penjajahan tetap dinyatakan berlaku sebelum ada peraturan terbaru. Dinyatakan dalam UU ini bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku ialah hukum pidana yang ada pada 8 Maret 1942, sekaligus mencabut hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda (Verordeningen van het Militair Gezag).

 

UU No. 1 Tahun 1946 juga menyesuaikan kata-kata tertentu dengan kondisi Indonesia yang sudah merdeka. Misalnya, kata Nederlandsch Indisch diganti menjadi Indonesia; istilah Directeur van Justitie diganti menjadi Minister van Justitie; dan perkataan Gouberneur Generaal diganti menjadi ‘president’. Selain itu, diatur pula ancaman bagi mereka yang melakukan tindak pidana terkait alat pembayaran. Bahkan diatur penyebaran berita bohong, suatu ketentuan yang menjerat sejumlah orang berpuluh-puluh tahun setelah Indonesia merdeka.

 

Pasal 14 UU No. 1946 menyebutkan (1) barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keoanaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun; dan (2) barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

 

Baca:

 

UU No. 20 Tahun 1946

Hanya berisi enam pasal, UU No. 20 Tahun 1946 mengatur tentang hukuman tutupan. UU ini dianggap berpengaruh karena menambah jenis hukuman ke dalam KUHP, yakni hukuman tutupan. Ditandatangani Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 31 Oktober 1946, UU ini diterbitkan semata untuk menambah jenis hukuman baru dalam Pasal 10 yaitu hukuman tutupan. Hukuman tutupan ini disebut ‘menggantikan hukuman penjara dalam hal tersebut dalam Pasal 2’. Hakim diberi kewenangan menjatuhkan hukuman tutupan. (Baca juga: Mengenai Hukuman Tutupan)

 

Apakah yang dimaksud hukuman tutupan? UU No. 20 Tahun 1946 tak memberikan definisi pada bagian awal. Cuma, dari isi pasal-pasalnya dapat diketahui bahwa hukuman tutupan itu berkaitan dengan perintah melakukan pekerjaan tertentu. Pasal 5 menyebutkan  tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala yang perlu untuk menjalankannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berkaitan dengan ini, terbitlah PP No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan. Hukuman Tutupan dikenakan kepada para pejabat negara yang melakukan kejahatan politik.

 

Kini, jenis hukuman dalam KUHP  berupa hukuman pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

 

UU No. 73 Tahun 1958

Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1946 menyatakan bahwa Undang-Undang ini berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkan. Untuk daerah lain akan ditetapkan kemudian. Nah, UU No. 83 Tahun 1958 mengatur tentang menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia dan mengubah KUHP. Inilah dasar hukum pemberlakukan KUHP untuk selluruh wilayah Indonesia.

 

Presiden Soekarno menandatangani UU ini di Jakarta pada 20 September 1958. Sembilan hari kemudian Menteri Kehakiman G.A Maengkom mengundangkannya. UU ini mencabut Pasal XVI UU No. 1 Tahun 1946, sekaligus menambahkan beberapa pasal yakni Pasal 52a, Pasal 142a, dan Pasal 154a. Ketiga pasal ini berkaitan bendera kebangsaan Negara Republik Indonesia. Kini, masalah bendera negara sudah diatur juga dalam UU No.

 

UU No. 1 Tahun 1960

Apa yang dilakukan pemerintah dan DPR jika ancaman hukuman yang ada dalam KUHP dianggap terlalu ringan? Salah satu yang ditempuh adalah mengubah rumusan materi muatan KUHP. Langkah inilah ditempuh lewat UU No. 1 Tahun 1960. Menariknya, latar belakang (konsiderans) UU ini jelas menunjukan keinginan menambah ancaman hukum. Ancaman hukum terhadap tindak pidana ‘menyebabkan mati karena kesalahan’ (Pasal 359 KUHP), ‘menyebabkan orang luka berat karena kesalahan (Pasal 360 KUHP), dan ‘menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau banjir (Pasal 188 KUHP) terlalu ringan pada saat lalu lintas dan perumahan makin padat.

 

Menteri Muda Kehakiman Sahardjo mengundangkan UU ini pada 5 Januari 1960, tanggal yang sama dengan tanda tangan Presiden Soekarno. Wet ini hanya berisi dua pasal. Pasal 1 menaikkan ancaman pada pasal-pasal dimaksud. Misalnya, Pasal 359 mengatur ‘barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Pasal 2 menyatakan UU ini berlaku pada hari diundangkan.

 

Baca:

 

Perppu No. 16 Tahun 1960

Musyawarah Kabinet Kerja pada 22 Maret 1960 merekomendasikan perlunya mengubah beberapa ketentuan dalam  KUHP karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan memaksa. Keadaan memaksa dimaksud adalah kenaikan nilai harga barang yang meroket. Lantaran ‘keadaan memaksa’, regulasi yang diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

 

Kebijakan Perppu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diambil pada masa Djuanda diangkat sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Isinya pun hanya dua pasal. Pasal I mengatur kalimat ‘vijf en twintig gulden’ dalam Pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) KUHP diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah. Pasal II menyatakan Perppu ini berlaku mulai pada hari diundangkan, yakni 14 April 1960.

 

UU No. 18 Tahun 1960

Undang-Undang ini mempengaruhi perubahan jumlah hukuman denda dalam KUHP. Diundangkan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada 14 April 1960, UU No. 18 Tahun 1960 menetapkan Perppu tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum 17 Agustus 1945.

 

Pasal 1 UU ini mengatur ‘tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dan perundang-undangan lain yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan 15 kali. Ketentuan pasal 1 ini tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam aturan tindak pidana ekonomi.

 

UU No. 2/PNPS/1964

Berisi 18 pasal, UU No. 2/PNPS/1964 mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Diterbitkan karena dianggap tata cara pidana mati sudah tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan keadaan dan jiwa revolusi Indonesia. Aturan ini menegaskan bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan ditembak mati.

 

Ada beberapa ketentuan yang diatur. Kecuali ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama. Jika ada beberapa terpidana mati dalam satu putusan, maka eksekusinya dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama kecuali tidak memungkinkan. Eksekutornya adalah regu tembak dari kepolisian.

 

UU No. 1/PNPS/1965

Pasal 156a KUHP menyebutkan ancaman pidana maksimal 5 tahun kepada siapapun di muka umum yang dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Pasal ini telah menjerat banyak orang, dan dipakai jaksa untuk mendakwa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pasal ini sebenarnya tidak berasal dari WvS, melainkan dimasukkan ke dalam KUHP berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Diundangkan pada 27 Januari 1965 oleh Sekretaris Negara, Mohd Ichsan, UU Penodaan Agama ini memasukkan Pasal 156a. Perintah memasukkan Pasal 156a ini dimuat dalam pasal 4. Sedangkan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama tersebut.

 

Di antara Undang-Undang yang sangat berpengaruh pada perkembangan KUHP, hanya UU No. 1/PNPS/1965 yang pernah dimohonkan uji ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan Jamaah Ahmadiyah telah ditolak Mahkamah Konstitusi. (Baca juga: MK Tegaskan UU Penodaan Agama Konstitusional)

 

UU No. 27 Tahun 1999

Diteken Presiden BJ Habibie pada Mei 1999, UU No. 27 Tahun 1999 mengatur tentang Perubahan KUH Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Di satu sisi, KUHP dianggap belum memberikan landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Di sisi lain, berkembang hak asasi manusia, serta paham komunisme dan Marxisme-Leninisme yang menjelmakan diri dalam berbagai kegiatan. UU ini menambahkan enam ketentuan baru  di antara Pasal 107 dan 108 KUHP.

 

Pasal baru itu adalah Pasal 107a (penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme), Pasal 107b (menyatakan keinginan meniadakan atau mengganti Pancasila), Pasal 107c (menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang menimbulkan kerusuhan), Pasal 107d (menyebarkan dan mengembangan paham komunisme/Marxisme-leninisme dengan maksud mengganti Pancasila), Pasal 107e (mendirikan organisasi dan menjalin hubungan dan memberikan bantuan dengan organisasi yang berasaskan komunisme/Marxisme-Leninisme), dan Pasal 107f (sabotase terhadap instalasi negara atau militer, atau menggagalkan pengadaan bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak).

Tags:

Berita Terkait