Literia Legis dan Sintetia Legis: Mengenali Beragam Cara Menafsir Hukum
Potret Kamus Hukum Indonesia

Literia Legis dan Sintetia Legis: Mengenali Beragam Cara Menafsir Hukum

Metode penafsiran dipakai aparat penegak hukum ketika menghadapi kasus-kasus riil.

Muhammad Yasin/Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
<i>Literia Legis</i> dan <i>Sintetia Legis</i>: Mengenali Beragam Cara Menafsir Hukum
Hukumonline

Seminar yang diselenggarakan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta (27/6) membuka kembali wacana tentang keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia yang sangat heterogen memiliki hukum-hukum tidak tertulis yang dapat dipakai masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.

 

Karena itu, Ade Saptomo, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, mengingatkan pentingnya perancang perundang-undangan memahami dengan baik keberagaman nilai dan hukum lokal untuk mendialogkan hukum negara dan hukum lokal. Sebaliknya, menjadikan sumber pintu pengembangan ilmu hukum dan pembangunan nasional terus berjalan dengan berbasiskan keberagaman.

 

Sebenarnya, pemahaman tentang keberagaman hukum itu tak hanya dibutuhkan legal drafter. Mereka yang berprofesi sebagai hakim, yang tugasnya menyelesaikan kasus-kasus riiil di masyarakat, jauh lebih membutuhkan. Agar hakim tidak sekadar jadi corong undang-undang, maka mereka harus bisa mengenal hukum yang hidup di tempat mereka bertugas dan mampu menafsir rumusan undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

 

Dalam ilmu pengetahuan hukum, penafsiran hukum dianggap penting karena rumusan perundang-undangan tidak selalu lengkap, ambigu, dan kata-katanya belum tentu jelas. Oleh Undang-Undang, Hakim diwajibkan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) ketika menghadapi kasus-kasus riil. Dalam menerapkan hukum, hakim biasanya menggunakan penafsiran (interpretatie)dan konstruksi.

 

PJ. Fitzgerald (Salmond on Jurisprudence, 1966) membedakan dua model interpretasi. Pertama, interpretasi harafiah, yakni menggunakan kata demi kata yang tersebut dalam rumusan peraturan perundang-undangan. Penafsir tidak keluar dari litera legis.

 

Penafsiran atas teks hukum juga dapat dilihat dari perspektif penerjemah. Ketua Umum Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) Hananto Sudharto, menjelaskan bahwa penerjemahan dokumen peraturan perundang-undangan sebelumnya dilakukan oleh para penerjemah lepas, baik yang bersumpah maupun tidak, penerjemah internal yang bekerja pada kantor hukum, perusahaan atau agensi penerjemahan. “Idealnya, terjemahan resmi dokumen peraturan perundang-undangan disediakan oleh pemerintah,” ujarnya.

 

Kedua, penafsiran fungsional, yang bermakna penafsir tidak terikat sepenuhnya pada kata, frasa, atau kalimat dalam perundang-undangan. Penafsir lebih berusaha memahami apa sebenarnya maksud atau ‘semangat’ dari suatu peraturan, lazim disebut sentetia legis.

 

Salah satu yang dapat dilakukan penafsir adalah melihat kamus bahasa atau kamus hukum. Selain itu, ada beberapa metode interpretasi lain yang dikenal. Meskipun interpretasi itu penting dalam kehidupan hukum, tetapi peraturan yang ideal adalah peraturan yang sedikit membuka ruang interpretasi karena diksi dan susunan kalimat yang jelas. Berikut ini adalah jenis-jenis penafsiran yang lazim dikenal dalam hukum.

 

Baca juga:

 

Penafsiran Gramatikal

Sebagian menyebutnya sebagai penafsiran penafsiran berdasarkan tata bahasa atau ilmu bahasa (de gramatikale of taalkundige interpretatie). Penafsir berusaha menemukan arti suatu kata, istilah, frasa, atau kalimat hukum dengan cara menghubungkan teks itu pada penggunaan tata bahasa atau pemakaian sehari-hari. Di sini, penafsir dapat menggunakan kamus hukum sebagai rujukan. Dalam kaitan ini penting menjadikan Pasal 1342-1345 BW (KUH Perdata) sebagai pegangan.

 

Hukumonline.com

 

Salah satu contoh penafsiran gramatika atau bahasa adalah istilah ‘menggelapkan’ dalam KUHP. Kata ‘menggelapkan’ di sini bisa juga dimaknai sebagai perbuatan ‘menghilangkan’. Contoh lain adalah ‘ditembak’ sebagai cara pelaksanaan hukuman mati. Lema ‘ditembak’ dalam konteks ini harusnya dimaknai ditembak pada sasaran yang membuat terpidana cepat meninggal, bukan ditembak sembarangan.

 

Penafsiran Historis

Penafsiran ini didasarkan pada sejarah terbentuknya suatu rumusan hukum atau perundang-undangan (wethistorie interpretatie). Penafsir melihat suasana bagaimana dulu suatu perundang-undangan terbentuk, termasuk menyelidiki sistem hukum dan politik hukum yang melatarbelakangi lahirnya suatu perundang-undangan. Misalnya, memahami kebaradaan UU Subversi pada masa Orde Baru dan kemudian dicabut pada era reformasi tak lepas dari kondisi historis pada saat itu. Ini juga adalah suatu metode menemukan rfiwayat suatu pranata atau pengertian hukum. Misalnya sejak kapan asas unus testis nullus testis dipakai dalam perundang-undangan.

 

Penafsiran Otentik

Ada yang memasukkan penafsiran ini sebagai penafsiran historis, dan ada yang membuat sebagai penafsiran tersendiri. Maksudnya adalah menafsirkan teks hukum berdasarkan naskah pembahasan peraturan perundang-undangan itu. Jadi, yang dilihat adalah maksud pembentuk undang-undang. Kini, sudah mulai berkembang dokumentasi maksud pembentuk undang-undang melalui penerbitan anotasi undang-undang tertentu. Mahkamah Konstitusi beberapa kali menggunakan penafsiran ini saat menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

 

Penafsiran Sistematis

Sistematische interpretatie berangkat dari pandangan bahwa hukum adalah sebuah sistem, yang terdiri dari sejumlah subsistem. Untuk mengenal suatu teks hukum secara benar maka penafsir harus menghubungkan satu ketentuan dengan ketentuan lain. Suatu peraturan perundangan-undangan merupakan sistem kesatuan yang terdiri dari bab, pasal dan ayat. Masing-masing item itu tidak berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang membentuk undang-undang.

 

Penafsiran sistematis ini bisa juga melihatnya pada undang-undang berbeda yang saling terkait. Misalnya, ketika ingin mengenali makna ‘tugas seorrang hakim’, bukan hanya dapat dilihat dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman, tetapi juga dalam paket perundang-perundangan lain bidang peradilan seperti UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, UU Peradilan Militer, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, dan UU Komisi Yudisial.

 

Penafsiran Teleologis/Sosiologis

Penafsiran teleologis sering digabung dengan penafsiran sosiologis. Ini terjadi jika makna suatu undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Interpretasi teleologis dapat dimaknai suatu teks hukum masih berlaku tetapi sudah usang, tidak sesuai lagi untuk diterapkan ke dalam peristiwa dan kebutuhan masa kini.

 

Lewat metode interpretasi ini, hakim menyesuaikan teks hukum tersebut dengan kondisi saat ini; jadi semacam mengaktualisasi hukum lama yang masih berlaku agar sesuai dengan kebutuhan saat ini. Pengertian ‘angkutan penumpang’ dapat dijadikan contoh menarik ketika melihat kebutuhan kendaraan roda dua yang dijadikan ojek daring.

 

Interpretasi ini disebut juga interpretasi sosiologis karena metode ini dapat digunakan jika teks dalam perundang-undangan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara yang dikenal dalam masyarakat. Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan contoh lema ‘pencurian’ dalam Pasal 362 KUHP untuk menafsirkan kata ini dalam konteks pencurian aliran listrik dari kabel milik tetangga.

 

Penafsiran Perbandingan

Interpretasi perbandingan atau komparatif dilakukan dengan cara membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lain. Ini penting dilakukan ketika dihadapkan pada kenyataan perbedaan sistem hukum daerah atau negara pada kasus yang dihadapi semisal berkembangnya investasi antarnegara. Karena itu, metode ini lazim dipakai dalam perjanjian internasional. Untuk mengatasi perbedaan sistem ini, acapkali disepakati lebih dahulu perbuatan apa saja yang dapat dihukum bersama di dua negara atau lebih. Misalnya, dalam pembuatan perjanjian mutual legal assistance (MLA).

 

Penafsiran Futuristik

Sudikno Mertokusumo memperkenalkan penafsiran futuristik, dan Bagir Manan menyebutnya sebagai penafsiran antisipatif.  Penafsiran ini mengunakan pemaknaan berdasarkan aturan-aturan hukum yang akan berlaku, atau berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

 

Dalam praktik, suatu undang-undang yang baru disahkan belum tentu langsung berlaku, karena pembentuk undang-undang masih memberikan waktu beberapa tahun kemudian untuk persiapan. Hakim bisa menggunakan peraturan semacam ini untuk menyelesaikan kasus tertentu. Bagir dalam bukunya Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik) memberi contoh Niuew Burgerlijk Wetboek Belanda.

 

Konstruksi Hukum

Interpretasi adalah metode penemuan hukum  dalam hal peraturannya ada tetapi kurang jelas atau tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa nyata. Dalam praktik, dapat juga terjadi belum atau tidak ada yang mengatur perbuatan yang harus diadili seorang hakim. Sebelum UU ITE berlaku, misalnya, sudah ada kasus hacking terhadap laman penyelenggara pemilu. Prinsipnya, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan belum ada hukumnya. Dalam hal yang terakhir ini, hakim dapat melakukan konstruksi.

 

Konstruksi hukum terdiri dari ‘argumentum per analogiam’ atau analogi, argumentum a contrario, dan penghalusan hukum. Dalam argumentum per analogiam, hakim membiat kiasan, analogis, atau ibarat pada kata-kata hukum sesuai dengan asas hukum. Dalam analogis, ada kecenderungan memperluas hukum. Salah satu contoh konstruksi hukum yang menimbulkan perdebatan adalah putusan hakim Bismar Siregar ketika menafsirkan kata ‘bonda’ dalam suatu tindak pidana.

 

Baca juga:

 

Argumentasi a contrario adalah kebalikan analogi. Analogi memperluas jangkauan berlaku suatu peraturan perundang-undangan, sebaliknya argumentum a contrario justru mempersempit jangkauan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Argumentum a contrarkio berlaku secara umum. Ini bedanya dengan penghalusan hukum, yakni suatu aturan hanya berlaku secara individual atau kelompok tertentu.

 

Contoh konkritnya adalah ‘waktu tunggu’ untuk menikah kembali yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Waktu tunggu ini adalah istilah yang digunakan untuk menunggu dalam waktu tertentu sebelum diizinkan kembali menikah. Tujuannya untuk memastikan apakah seorang perempuan/isteri sedang hamil atau tidak. Dilihat dari maksud pembentuk undang-undang, maka ketentuan ‘waktu tunggu’ tidak mungkin berlaku bagi laki-laki.

 

Untuk memudahkan pemahaman tentang penafsiran, mungkin bisa diterapkan pada kasus korupsi. Pertanyaan paling dasar adalah apa yang dimaksud dengan ‘korupsi’. Jika ditelusuri perundang-undangan Indonesia sejak UU No. 3 Tahun 1971 hingga UU No. 20 Tahun 2001, akan terlihat perluasan cakupan perbuatan yang dikualifikasi sebagai korupsi. Bahkan terkadang muncul perdebatan mengenai satu kata saja karena terjadinya peristiwa konkrit. Telusuri saja perdebatan kata ‘dapat’ dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Tags:

Berita Terkait