​​​​​​​Casu Quo atau Zaak? Rujukan Kamus Hukum dalam Pertimbangan Hakim
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Casu Quo atau Zaak? Rujukan Kamus Hukum dalam Pertimbangan Hakim

Hakim dan para pihak berperkara acapkali mengutip suatu istilah dari Kamus Hukum untuk memperkuat argumentasi. Inilah beberapa contohnya.

Muhammad Yasin/Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Tersebutlah sebuah kisah yang bermula dari ruang sidang Pengadilan Agama. Seorang ibu berkeinginan menikahkan anak lelakinya dengan seorang perempuan. Persoalannya, sang anak baru berusia 17 tahun 10 bulan, umur yang belum cukup dewasa untuk menikah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Mengetahui aturan itu, si Ibu meminta dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama. Ketika sedang diproses, majelis hakim menemukan fakta bahwa sebelumnya sudah ada permohonan serupa yang diajukan orang yang sama, tanggal permohonan sama, dan isi permohonannya nyaris sama. Majelis hakim lantas mempertimbangkan apakah permohonan kedua itu ne bis in idem atau tidak.

 

Argumentasinya dimulai dari pertanyaan: apa yang dimaksud dengan ne bis in idem? Majelis lantas mengutip dari ‘Kamus Hukum dan Yurisprudensi’ karya HM Fauzan dan Baharuddin Siagian. Istilah ne bis in idem mengandung arti perkara yang sama tidak boleh disidangkan untuk kedua kalinya, atau dengan kata lain kasus yang sama tidak boleh diperkarakan dua kali. Di sini, hakim menggunakan penafsiran gramatikal. (Baca juga: Tentang Double Jeopardy, Ne Bis In Idem dan Recidive)

 

Untuk memperkuat keyakinan mereka, majelis hakim mengutip pandangan M. Yahya Harahap. Mantan hakim agung ini pernah menulis syarat kumulatif melekatnya ne bis in idem dalam putusan. Ada empat syaratnya: apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya; terhadap perkara terdahulu sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap; putusan bersifat positif; dan subjek atau pihak yang berperkara sama.

 

Rujukan terhadap kamus hukum bukan hanya terjadi di sidang Peradilan Agama. Tidak ada juga larangan secara hukum bagi hakim dari lingkungan peradilan mana pun untuk mengutip kamus, tesausur, atau sumber referensi lain ketika membuat pertimbangan putusan.

 

Di lingkungan peradilan lain juga pernah terjadi, hakim merujuk pada kamus hukum. Malah para pihak yang berperkara mempersoalkan suatu istilah yang dipakai. Di Pengadilan Hubungan Industrial, misalnya, tergugat mengajukan eksepsi yang pada intinya ‘menggugat’ penggunaan istilah provisi seraya mengutip makna kata itu berdasarkan Kamus Hukum Edisi Lengkap karya Yan Pramadya Puspa (1977). Tergugat berpendapat bahwa penggugat telah salah menggunakan istilah provisi sehingga menimbulkan kerancuan. Provisi yang dimaksud penggugat tidak sama dengan yang dimaksud dalam kamus yang dikutip.

 

Dua kisah nyata tentang pengutipan kamus hukum itu menggambarkan bagaimana para pihak berperkara dan majelis hakim terkadang perlu menelusuri suatu teks atau istilah hukum ke dalam referensi, salah satunya kamus hukum. Menurut advokat Exaudi R. Simanullang, perdebatan istilah semacam itu, justru mengasah pemahaman seorang advokat. Kamus hukum, kata advokat lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, sangat penting bagi aparat penegak hukum sebagai pedoman untuk menafsirkan suatu istilah atau teks hukum berdasarkan arti yang sudah diterima umum. “Kamus hukum itu sangat penting,” ujarnya.

 

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yanto, juga punya pandangan senada. Dulu, ketika HIR/RBg masih dipakai sebagai acuan untuk hukum acara di pengadilan, kebutuhan akan kamus hukum lebih besar dibandingkan setelah KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) diberlakukan. Untuk KUHP, persoalannya juga nyaris sama. Sudah ada beberapa terjemahan sehingga para pemangku kepentingan menggunakan yang sudah ada. Kalaupun ada perbedaan terjemahan, bedanya tidak terlalu jauh.

 

Mungkin saja perkembangan teknologi telah mengubah tempat pencarian istilah bagi komunitas hukum, dari kamus bergeser ke google. Tetapi menurut Yanto, kamus hukum itu tetap penting bagi seorang hakim. “Kamus hukum itu penting berisi ilmu pengetahuan,” ujar hakim bergelar doktor ilmu hukum itu kepada hukumonline, Kamis (11/7).

 

Praktik di pengadilan, yakni proses persidangan, sendiri sebenarnya kaya istilah hukum. Replik-duplik, vonis, dakwaan, banding, kasasi, peninjauan kembali, berkekuatan hukum tetap, dissenting opinion, rechtsvinding alias penemuan hukum, dan hukum yang hidup dalam masyarakat hanya sebagian saja dari istilah yang lazim ditemukan. Para pihak yang berperkara perlu memahami makna dan konteks penggunaan istilah-istilah dimaksud. Sebagian lagi langsung dipakai hakim dan dirujuk dari kamus hukum.

 

Baca:

 

Casu Quo

Berdasarkan penelusuran hukumonline, ada banyak istilah hukum yang dijelaskan hakim secara gramatikal dalam pertimbangan. Casu quo –lazim disingkat c/q—dan zaak, misalnya. C/q berasal dari bahasa Latin yang bermakna ‘dalam hal ini’ atau ‘lebih khusus lagi’. Sebutan ini dipakai umumnya untuk menandai jabatan yang hierarkis. Misalnya, ketika ingin mengirimkan surat kepada Ketua Muda Bidang Pidana Khusus Mahkamah Agung. Dalam surat, bisa ditulis ‘Ketua Mahkamah Agung c/q Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana Khusus’. (Baca juga: Arti c/q dan qq)

 

Dari ratusan putusan pengadilan yang ditelusuri, setidaknya ada 36 putusan yang dalam pertimbangannya disinggung kamus hukum. Aparat penegak hukum, terutama hakim, merujuk pada kamus ketika menjelaskan suatu kata atau istilah tertentu. Bahkan ketika menyinggung kata yang biasa dipakai, seperti lema ‘hak’, hakim berusaha melihat pengertiannya secara gramatikal. 

 

Hukumonline.com

Keterangan: Beberapa istilah yang didefinisikan berdasarkan kamus hukum dalam putusan hakim.

 

Zaak

Berdasarkan penelusuran hukumonline, salah satu kata yang paling sering dicari definisinya adalah zaak (barang, benda). Lima dari 36 putusan yang dikutip, memuat arti kata zaak. Lalu, apa sebenarnya arti barang (zaak) dalam kasus pencurian sebagaimana dimaksud Pasal 362 dan 363 KUHP? Pasal 362 menyebutkan barangsiapa mengambil sesuatu ‘barang’ yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu secara melawan hak dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 900 rupiah (sebelum disesuaikan). (Baca juga: Awas Keliru! Ini Bedanya Penerjemah Tersumpah dan Juru Bahasa Pengadilan)

 

Pasal 363 KUHP dikualifikasi sebagai kejahatan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi. Jika pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih maka para pelaku bisa terkena Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP. Pasal ini pula yang dipakai majelis hakim Pengadilan Negeri Kasongan dalam putusan No. 121/Pid.B/2015/PN.Ksn. Dalam mempertimbangan unsur-unsur pasal itu majelis mendefinisikan apa yang dimaksud dengan barang (zaak), apakah meliputi pula motor yang dicuri para pelaku. Majelis lantas mengutip pengertian zaak dari ‘Kamus Hukum Lengkap’ karya Yan Pramadya Puspa, terbitan Aneka Ilmu Semarang (1977).

 

Inilah salah satu contoh dari banyak putusan pengadilan yang memuat kutipan dari kamus hukum. Pengertian zaak dengan mengutip kamus hukum karya Yan Pramadya Puspa juga bisa ditemukan dalam putusan lain. Menariknya, meskipun berbeda lokasi pengadilan dan berbeda kasus, majelis mengutip kamus yang sama. Sebenarnya, kata zaak juga ditemukan pada kamus hukum lain.

 

Dalam sidang pengadilan sebenarnya berlaku asas ius curia novit, hakim dianggap tahu hukum. Tetapi tentang bahasa dan arti kata, hakim perlu memastikan dasar pertimbangannya tidak salah. Atau, dalam menafsirkan teks-teks hukum dalam suatu perkara, hakim harus menggunakan interpretasi atau konstruksi yang benar.

 

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Djajus mengaku acapkali mengingatkan hakim untuk menggunakan penafsiran yang baik. “Saya sering berpesan agar hakim menggunakan penafsiran yang baik dan benar,” ujarnya.

 

Jaja mengatakan hakim-hakim Pengadilan Agama sudah sering melakukan penafsiran secara contra legem. Secara leksikal, contra legem artinya bertentangan dengan undang-undang. Dalam konteks ini adalah putusan pengadilan yang berseberangan atau menyimpangi rumusan undang-undang. Hakim dapat mengesampingkan peraturan yang ada demi memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara. Salah satu putusan di lingkungan peradilan agama yang dianggap sebagai contra legem adalah memberikan bagian dari harta waris kepada ahli waris non muslim berdasarkan lembaga wasiat wajibah (misalnya putusan MA No. 16K/Ag/2010).

Tags:

Berita Terkait