Hukum Ketenagakerjaan Harus Adaptif Terhadap Perkembangan Teknologi
Berita

Hukum Ketenagakerjaan Harus Adaptif Terhadap Perkembangan Teknologi

Kearifan lokal menjadi aksiologi hukum ketenagakerjaan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Mayday 2019: Beragam Tuntutan Kesejahteraan Buruh).

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dakhiri, sebenarnya juga sudah pernah menyinggung persoalan ini. Perkembangan teknologi terbukti menghilangkan beberapa jenis pekerjaan karena tenaga manusia digantikan mesin. Tetapi teknologi juga menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru, yang membutuhkan kebijakan baru untuk mengaturnya.

Pengaturan tentang hubungan ketenagakerjaan dalam ekonomi digital, misalnya. Menurut Iron Sarira, virtualisasi hubungan kerja harus tetap menjadi fokus utama dalam pembuatan aturan  karena hubungan ini tetap melibatkan pemberi kerja dan penerima kerja. Bagaimanapun, lanjutnya, tantangan perubahan model ketenagakerjaan harus disikapi secara cepat dan tepat melalui koordinasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah selaku regulator. Keterampilan pekerja perlu disesuaikan dengan kebutuhan digitalisasi. Tiga tantangan yang harus diantisipasi di masa mendatang adalah peningkatan kualitas pendidikan, kesesuaian kebutuhan pemberi kerja dengan kompetensi pekerja, dan pembenahan mentalitas pekerja agar terus mampu beradaptasi dengan perkembangan.

Meskipun harus menghadapi perkembangan global, Iron Sarira tetap memandang pentingnya kearifan lokal sebagai aksiologi hukum ketenagakerjaan. Pandangan ini mengandung makna bahwa untuk menyikapi dinamika hukum ketenakerjaan akibat revolusi industri 4.0, masyarakat tetap perlu membentengi diri dengan cara membangun budaya yang sesuai kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ia menepis pandangan bahwa mengusung kearifan lokal sebagai perlawanan terhadap arus globalisasi.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hanyalah instrumen, sedangkan isinya sangat bergantung pada nilai-nilai yang dibawa oleh pengguna teknologi tersebut. Pekerja, pengusaha dan pemerintah adalah subjek pengguna teknologi dimaksud, dan berinteraksi dalam hubungan industrial yang terbangun. Maka, dalam pembuatan kebijakan hukum ketenagakerjaan, pemerintah dan pemangku kepentingan lain perlu memasukkan nilai-nilai kearifan lokal, yakni nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat itu sendiri. Ia percaya kearifan lokal dapat berkesinambungan, dijaga dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat setempat.

Memasukkan kearifan lokal ke dalam kebijakan sebaiknya bersifat bottom up. “Nilai-nilai (kearifan lokal) itu pula yang digunakan saat UU Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam sistem hukum positif Indonesia dirancang dan diberlakukan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait