Hindari ‘Jebakan’ Lex Imperfecta dalam Penguatan Komisi Yudisial
Berita

Hindari ‘Jebakan’ Lex Imperfecta dalam Penguatan Komisi Yudisial

Jika ingin bertaji, Komisi Yudisial membutuhkan kewenangan yang bersifat desisif.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Refly menyebut ada sejumlah lembaga negara yang tak memiliki kewenangan menentukan, termasuk Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial. “Komisi Yudisial tidak punya kewenangan desisif,” ujarnya.

(Baca juga: Kinerja Lembaga Yudisial di Mata Presiden).

Dalam revisi UU Komisi Yudisial ke depan, perlu dilakukan pendekatan kepada para pembentuk Undang-Undang untuk meyakinkan mereka tentang posisi sentral Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim. Peneliti Indonesia Legal Roundtabel, Andri Gunawan, mengusulkan agar Komisi Yudisial tidak hanya berfokus pada revisi UU Komisi Yudisial, tetapi juga memperhatikan RUU lain yang berkaitan dengan tugas-tugas Komisi Yudisial. “Setidaknya ada tujuh RUU terkait yang perlu diperhatikan,” jelas Andri.

Ketujuh RUU dimaksud dalam RUU tentang Jabatan Hakim, RUU Mahkamah Agung, RUU Contempt of Court, RUU Penyadapan, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Pengadilan HAM, dan RUU Etika Penyelenggara Negara. Andri menyarankan agar Komisi Yudisial mulai melakukan kajian intensif dan menggugah perhatian publik atas pentingnya revisi UU Komisi Yudisial.

Komisioner Komisi Yudisial yang juga penulis buku yang didiskusikan, Farid Wajdi, menyoroti salah satu isu penting dalam penguatan Komisi Yudisial ke depan. Selama ini, pemeriksaan hakim terlapor sering terkendala karena alasan masuk ranah teknis yudisial. Menurut Farid, tanpa adanya penyamaan persepsi  tentang pengawasan perilaku hakim yang dibenturkan dengan terminologi teknis yudisial/yustisial, pelaksanaan pengawasan akan tetap menjadi polemik

Tags:

Berita Terkait