Gugatan Pemerintah terhadap Newmont Harus Mengacu pada Kontrak Karya
Berita

Gugatan Pemerintah terhadap Newmont Harus Mengacu pada Kontrak Karya

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memang diatur dalam kontrak karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan PT Newmont Minahasa Raya. Namun, pemerintah menilai pencemaran lingkungan tidak termasuk sengketa yang harus diselesaikan melalui arbitrase.

Gie
Bacaan 2 Menit
Gugatan Pemerintah terhadap Newmont Harus Mengacu pada Kontrak Karya
Hukumonline
Gugatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang mewakili pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan petingginya sudah didaftarkan di PN Jakarta Selatan (9/3). Sampai saat ini PN Jaksel masih dalam tahap penunjukkan majelis dan belum memastikan jadwal sidang gugatan ini.

Ia mengartikan sengketa yang dimaksud dalam kontrak karya, hanya berlaku untuk masalah perizinan, atau pembagian hasil antar kedua belah pihak, dan tidak termasuk pencemaran lingkungan. Dijelaskannya, Pasal 21 kontrak karya yang mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menyebutkan secara rinci sejauh mana kualifikasi sengketa yang bisa diselesaikan melalui arbitrase.

Tergantung kontrak karya

Dihubungi secara terpisah, praktisi hukum Stefanus Haryanto berpendapat upaya hukum yang ditempuh pemerintah—apakah melalui gugatan atau menyelesaikan melalui arbitrase-- harus bertitik tolak pada kontrak karya.

Stefanus berpandangan, apabila dalam kontrak karya disebutkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase meliputi semua sengketa (any disputes), termasuk soal ganti rugi, maka gugatan KLH ini memang harus dibawa ke UNCITRAL.

Namun Stefanus menekankan, apabila di dalam kontrak karya hanya disebutkan jenis sengketa tertentu maka menurutnya penyelesaian melalui arbitrase hanya terbatas persengketaan yang berkaitan dengan investasi semata.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, Pasal 30 UU No.23/1997 mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat ditempuh untuk mencapai kesepakatan mengenai ganti rugi. Namun, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak berlaku pada tindak pidana lingkungan hidup.

UU No. 23/1997

 

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 30

(1)           Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2)           Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(3)           Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Stefanus berpendapat bahwa UU No. 23/1997 secara jelas menerapkan unsur strict liability dimana unsur kesalahan tidak ditentukan sepanjang ada perbuatan dan menimbulkan pencemaran.

Namun menurutnya, membuktikan pencemaran bukan masalah yang mudah, meski bukan berarti mempersulit pembuktian adanya pencemaran lingkungan. Stefanus mengemukakan bahwa sebenarnya UU No. 23/1997 menerapkan delik formal dimana tanpa membuktikan adanya pencemaran pun polisi dapat membawa masalah lingkungan ke ranah pidana.

Ia mencontohkan, untuk kasus NMR sepanjang ada pembuangan limbah yang melampaui ambang baku mutu atau melangkahi izin bisa dibuktikan, maka kasusnya dapat berlanjut ke pidana.

Dalam gugatannya, KLH meminta ganti rugi materiil sebesar AS$ 117,68 juta dan imateriil Rp150 miliar. KLH menilai NMR melanggar Pasal 22 ayat(1) Undang-undang No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, gugatan yang diajukan kejaksaan selaku kuasa hukum KLH ini dipertanyakan. Luhut Pangaribuan, kuasa hukum NMR, menyatakan gugatan tersebut tidak masuk akal. Sebab, dalam kontrak karya yang ditandatangani 19 tahun lalu, Pemerintah Indonesia dan NMR sepakat untuk memilih jalur arbitrase apabila ada sengketa.

Menurut Luhut, mengacu pada klausul arbitrase yang sudah dinotifikasi, kedua belah pihak telah menunjuk United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL) sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa. Untuk itu di awal persidangan nanti, Luhut akan meminta agar sengketa ini diselesaikan melalui forum arbitrase. Sekalipun ada sengketa hukum publik, kata Luhut, tahapan yang harus diselesaikan harus berdasarkan perikatan yang dibuat terlebih dahulu dalam kontrak karya.

Menanggapi persoalan arbitrase ini, salah seorang kuasa hukum KLH Bambang Widjojanto menganggap penyelesaian melalui arbitrase tidak relevan. Menurutnya, apa yang dipersoalkan sekarang adalah pencemaran lingkungan oleh NMR yang termasuk  pelanggaran hukum publik.

Pelanggaran seperti itu, lanjut Bambang, bukan merupakan sengketa yang harus dibawa ke forum arbitrase seperti yang tercantum dalam kontrak karya. Sebab, di mata Bambang, pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh NMR bukan merupakan sengketa lingkungan biasa.

Tags: