Gejala Perubahan Makna Istilah Hukum: Tidak Hanya Penyempitan dan Perluasan
Potret Kamus Hukum Indonesia

Gejala Perubahan Makna Istilah Hukum: Tidak Hanya Penyempitan dan Perluasan

Dalam perkembangan penggunaan, istilah hukum dapat berubah makna, sesuai konteksnya.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Penggunaan suatu istilah hukum dapat berkembang sesuai konteksnya. Keadaan tertentu dapat membuat makna suatu istilah hukum menjadi menyempit; sebaliknya karena kondisi lain suatu istilah hukum dapat menjadi lebih luas. Paling mudah melihatnya adalah pada definisi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Tata Nusa, misalnya, pernah menerbitkan Kamus Istilah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia 1945-2007, dan buku Kamus Istilah Peraturan Bidang Dalam Negeri.

 

Definisi dalam perundang-undangan sejatinya adalah kontekstualisasi suatu istilah hukum. Itu sebabnya, definisi dimaksud selalu diawali dengan kalimat “Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan…” Artinya, definisi itu hanya berlaku dalam konteks penggunaan Undang-Undang tersebut. Mungkin saja pengertiannya sama dengan Undang-Undang lain; tetapi kemungkinan berbeda juga terbuka. Misalnya, satu istilah dari bahasa asing ‘accroisement’ (Inggris: increase) dalam konteks harta kekayaan (Pasal 556 BW) dan konteks suksesi (Pasal 1044 BW).

 

Dalam proses penemuan hukum, hakim juga acapkali membuat penafsiran sesuai konteks kasusnya. Bisa jadi, suatu istilah hukum dapat digunakan pada keadaan tertentu dan menjadi perbuatan terlarang untuk membawanya; sebaliknya jika dibawa orang lain, maka hukum tak menganggapnya sebagai perbuatan terlarang. Contoh menarik yang relevan dan pernah diputuskan oleh pengadilan di Indonesia adalah istilah ‘senjata tajam’. Apa yang dimaksud dengan senjata tajam? Pengadilan Indonesia pernah memutuskan bahwa parang yang sedang dibawa seorang petani menuju sawahnya tak otomatis dianggap senjata mematikan dan ia tak bisa dipersalahkan menabrak larangan membawa senjata tajam.

 

Itu contoh menarik bagaimana suatu istilah dikontekstualisasi dengan keadaan. Dalam penemuan hukum setidaknya ada dua kemungkinan yang dilakukan hakim: pertama, mempersempit makna suatu istilah hukum; atau, kedua, memperluas maknanya. Cara yang dilakukan hakim ini sering disebut penyempitan dan perluasan istilah hukum. Dalam teori penafsiran hukum, masing-masing disebut penafsiran restriktif dan penafsiran ekstensif.

 

Baca juga:

 

Penyempitan makna terjadi jika interpretasi hakim terhadap suatu kata dibatasi atau dikurangi dari apa yang umumnya dipahami atau disebutkan dalam kamus. Beberapa referensi memberikan contoh istilah ‘tetangga’. Pasal 666 KUH Perdata menyebutkan “Tetangga yang satu boleh menuntut tetangga yang lain supaya memusnahkan segala pohon dan segala pagar hidup yang telah ditanam dalam jarak lebih dekat dari jarak tersebut”. Lantas, siapakah yang dimaksudkan dengan tetangga? Umumnya dipahami bahwa penyewa tidak termasuk tetangga yang dimaksud dalam Pasal 666 KUH Perdata.

 

Contoh lain yang berkembangan dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi adalah lema ‘hakim’. Hakim dalam pemahaman awam adalah setiap orang yang bertugas di pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Tetapi Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa hakim MK tak termasuk dalam pengertian hakim sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan sehingga tidak menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. Di sini, lema hakim cenderung menyempit.

 

Perluasan makna suatu istilah terjadi ketika kata dimaksud diartikan melebihi apa yang dipahami atau disebut secara gramatikal. Contoh yang diberikan dalam banyak referensi adalah pengertian ‘menjual’ dalam Pasal 1576 KUH Perdata. Rumusannya adalah “Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”. Sejak 1906 Hoge Raad memperluas makna ‘menjual’ dalam pasal itu, bukan hanya dalam jual beli, tetapi juga dalam peralihan hak dan pengasingan.

 

Perluasan makna saksi dalam KUHAP adalah contoh lain yang relevan dalam konteks perluasan makna. Pasal 1 angka 26 KUHAP mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Apa yang disampaikan saksi kepada penyidik, penuntut atau hakim disebut sebagai keterangan saksi. Pengertian saksi dalam KUHAP ini sudah diperluas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Perubahan juga dapat terjadi pada cakupan suatu istilah hukum. Ambil contoh, cacat kehendak (wilsgebreken). Pasal 1322-1328 BW (KUH Perdata) menyebutkan cacat dalam kehendak itu mencakup kesesatan (kekhilafan), penipuan, dan paksaan. Lantas, apakah selamanya istilah ‘cacat dalam kehendak’ itu hanya mencakup ketiga kondisi itu? Apakah undue influence tidak termasuk? Perkembangan praktik di pengadilan dapat mengubah cakupan suatu istilah hukum.

 

Baca juga:

 

Makna Asosiatif

Sebenarnya dalam praktik proses hukum dan birokrasi, seringkali muncul perubahan makna suatu kata atau lema. Misalnya dalam kalimat: “Saya memberikan amplop ke petugas agar urusannya cepat selesai”. Lema amplop dalam kalimat ini dipahami awam sebagai pemberian suap. Perubahan makna demikian disebut perubahan makna secara asosiatif.

 

Istilah sehari-hari di dunia hukum seperti ‘kacamata hukum’, masa lalu ‘hitam’, ‘kursinya’ digeser kandidat lain, dan perkara ‘dipetieskan’ hanya sebagian contoh perubahan makna asosiatif.

 

Salah satu fenomena pemaknaan asosiatif oleh lawan bicara adalah istilah yang dipakai para tersangka atau terdakwa dan saksi kasus tindak pidana korupsi. Sebagaimana terungkap dalam beberapa persidangan, lawan bicara terdakwa memahami ‘apel Malang’ sebagai rupiah, dan ‘apel Washington’ sebagai dolar. Banyak kata yang dipakai sebagai kode untuk menutupi praktik korupsi, dan mengubah makna kata tertentu menjadi pemberian uang.

 

Kalimat “Berapa ikat yang ingin Anda berikan?” sekilas dimaknai sebagai jual sayur mayur. Tetapi pihak-pihak yang berkomunikasi dalam kasus korupsi mengasosiasikan kata ‘ikat’ sebagai besaran uang yang harus diberikan. Daftar kata yang diasosiasikan para pihak sebagai uang suap dalam kasus tindak pidana korupsi bisa terus bertambah, tetapi hanya dipahami oleh orang yang berkomunikasi, dan dibongkar maksud atau maknanya oleh aparat penegak hukum.

 

Jadi, setiap lema di dalam kamus hanya memberikan pengertian leksikal. Dalam beberapa kamus, maksud dan konteks lema atau istilah hukum dimaksud sudah dijelaskan. Langkah ini penting karena dalam praktik hukum makna suatu istilah sangat mungkin berubah: tak hanya meluas atau menyempit.

Tags:

Berita Terkait